09 Desember 2019

Ketahui Plastisitas Otak untuk Anak yang Bisa Mencerdaskan Si Kecil

Karena setiap anak itu cerdas dan berbakat
Ketahui Plastisitas Otak untuk Anak yang Bisa Mencerdaskan Si Kecil

Setiap orang tua menginginkan anaknya agar tumbuh pintar dan cerdas. Anak yang cerdas dapat membuka banyak peluang untuk masa depan yang gemilang.

Namun, Moms perlu memahami bahwa kecerdasan memiliki banyak jenis. Misalnya, kecerdasan anak bermain musik, olahraga, di bidang teknologi, atau kecerdasan matematika.

Jika ingin memaksimalkan potensi anak, Moms bisa melakukan plastisitas otak untuk anak. Karena semakin banyak sambungan sel-sel saraf yang ada di otak, anak semakin cerdas.

Baca Juga: Buat Anak Tumbuh Cerdas dengan 3 Faktor Penting Ini!

Pengertian Plastisitas Otak dan Manfaatnya

plastisitas otak untuk anak-1
Foto: plastisitas otak untuk anak-1 (speechpathologymastersprograms.com)

Konsep plastisitas otak untuk anak kaitannya dengan prinsip otak dan prinsip belajar.

Sesuai dengan namanya, plastis, konsep plastisitas otak menjelaskan bahwa otak manusia adalah organ yang lentur, dan bisa terus berkembang, selama masih terus distimulasi.

Saat otak distimulasi, maka neuron-neuron atau sel saraf yang ada di dalamnya, akan tersambung satu sama lain. Semakin banyak sambungan neuron, maka anak juga akan semakin cerdas.

Lalu, bagaimana agar sel saraf itu bisa terus tersambung? Selain stimulasi, ada juga faktor asupan gizi dan pengalaman yang dirasakan anak.

Baca Juga: Ingin Anak Cerdas dan Mandiri? Ini Tipsnya Menurut Psikolog!

Menstimulasi Kecerdasan Anak Sejak Dini

plastisitas otak untuk anak-2
Foto: plastisitas otak untuk anak-2

Kegiatan seperti belajar dan bermain bisa menstimulasi kecerdasan anak. Plastisitas otak tidak hanya bisa pada anak-anak, karena kemampuan otak ini akan terus ada hingga dewasa.

Jadi, tidak benar jika ada anggapan bahwa saat memasuki usia tertentu, kita akan sulit untuk mempelajari hal baru.

Meski begitu, pada usia-usia tertentu, plastisitas otak untuk anak akan mencapai puncaknya. Usia tersebut adalah di 1.000 hari pertama kehidupan. Seribu hari pertama kehidupan ini dihitung sejak bayi berada di dalam kandungan.

Pada kondisi terbaiknya, otak berada dalam keadaan paling "lentur" dan paling mudah dilatih.

Lalu, setelah melewati 1.000 hari pertama kehidupan, puncak plastisitas otak akan kembali terjadi pada usia enam tahun kehidupan.

Namun ketika memasuki usia 14 tahun, secara alami, otak akan meruntuhkan neuron-neuron yang tidak pernah terstimulasi.

Agar neuron di otak Si Kecil bisa terus terstimulasi, disarankan untuk memastikan anak melakukan aktivitas seperti bermain, belajar, membaca, dan berinteraksi dengan orang lain.

Baca Juga: 4 Tips Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak

Belajar yang paling efektif adalah belajar dengan melibatkan berbagai indra di tubuh. Yaitu, belajar sambil melatih indra sentuhan, pendengaran, pergerakan tubuh, atau bahkan penciuman.

Stimulasi bisa dilakukan di mana saja, baik di rumah maupun di sekolah. Karena itu, peran orangtua dalam membangun kecerdasan anak sangatlah besar dalam membentuk plastisitas otak untuk anak.

Ingat, neuron juga bisa saling tersambung apabila anak memiliki pengalaman yang beragam.

Karena itu, biarkan anak mencoba berbagai hal yang ia inginkan, selama ia merasa senang dan tentunya, tidak membahayakan. Biarkan ia mendapatkan pengalaman-pengalaman yang berharga.

Bayangkan jika hingga usia 14 tahun, otak anak tidak pernah terstimulasi. Maka, sambungan neuron yang ada di otaknya pun sebagian besar akan diruntuhkan secara alami.

Padahal, anak yang cerdas adalah anak yang memiliki banyak sambungan neuron di otaknya. Sehingga dapat mengoptimalkan plastisitas otak untuk anak.

Plastisitas Otak Bisa Terstimulasi Hal Negatif

plastisitas otak untuk anak-3
Foto: plastisitas otak untuk anak-3

Stimulasi negatif menyebabkan anak jadi terbiasa melakukan perilaku yang negatif pula.

Sambungan sel saraf di otak, bisa dibayangkan seperti persimpangan jalan yang bercabang. Ada jalan yang belok ke kiri, ada jalan yang belok ke kanan.

Ibaratnya, jalan yang belok ke kiri adalah jalan yang negatif, dan jalan yang belok ke kanan adalah jalan yang positif.

Saat otak terbiasa distimulasi untuk melakukan hal-hal yang positif, seperti membaca buku, bangun bagi, lalu olahraga, dan sarapan dengan makanan yang sehat dan bergizi, hal ini akan menjadi suatu pola, suatu kebiasaan. Sehingga, jalan yang belok ke kanan akan terus dilalui.

Lalu, jika yang digunakan terus-menerus adalah jalan yang belok kanan, apa yang akan terjadi dengan jalan yang belok kiri? Jalan tersebut akan ditutup karena tidak pernah digunakan.

Baca Juga: 5 Cara Mengenali Kelebihan Anak agar Tumbuh Cerdas dan Percaya Diri

Neuron yang merupakan jalan yang belok ke kiri, akan diruntuhkan secara alami, karena tidak pernah distimulasi. Sehingga, stimulasi positif di atas, yang akan terus dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan.

Tapi, orang tua juga perlu hati-hati, karena konsep plastisitas otak untuk anak ini juga berlaku sebaliknya.

Jika anak dibiarkan terus menjalani stimulasi negatif, seperti dibiarkan bangun siang, anak menjadi pemalas, terbiasa terlambat, terbiasa menunda pekerjaan, maka hal-hal tersebut yang akan menjadi pola dan kebiasaannya.

Pada kasus ini, jalan yang belok ke kiri yang akan selalu ada, sedangkan jalan yang belok ke kanan, akan ditutup karena tidak pernah distimulasi.

Tentu, kebiasaan baru selalu bisa dibuat. Selama dilakukan dengan konsisten, maka jalan baru akan terbentuk, dan neuron akan kembali tersambung.

Ditulis oleh Hanlie Mulianie, M.Psi

Sumber: sehatq.com

Konten ini merupakan kerja sama yang bersumber dari SehatQ

Isi konten di luar tanggung jawab Orami Parenting

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb