01 September 2019

Perjuanganku Punya Anak dengan Kista Endometriosis

Saya Harus Resign dan Jadi Stay-at-Home Moms
Perjuanganku Punya Anak dengan Kista Endometriosis

Oleh Hafida Satya Aryani (29 th), Ibu dari Qiana Ayu Kinasih (14 bln), Member WAG Orami Newborn Moms (2)

Kista endometriosis merupakan salah satu penyakit yang umumnya dialami oleh para perempuan. Aku baru menyadari memiliki kista ketika mengidap tifus dan harus dirawat di rumah sakit saat dilakukan pemeriksaan Ultrasonography (USG).

Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, diputuskan untuk segera dilakukan tindakan laparoscopy, mengingat kista yang berjumlah dua dengan diameter masing-masing berukuran 9 cm.

Baca Juga: Paniknya Saya sebagai Ibu Baru saat Melihat Anak Kejang karena Demam

“Dipaksa” Segera Menikah Tidak Lebih Dari 3 Bulan Setelah Laparoscopy

kista-3.jpg
Foto: kista-3.jpg (Orami/Hafida Satya Aryani)

Foto: Orami/Hafida Satya Aryani

Saat pemeriksaan terakhirku sebelum dilakukan tindakan laparoscopy oleh dokter kandungan, aku disarankan untuk segera menikah, tidak lebih dari tiga bulan.

Kaget? Pasti. Karena aku dan pasangan belum memiliki rencana kapan akan melangsungkan pernikahan.

Hal ini dianjurkan karena pasca laparoscopy, ada terapi lanjutan yang harus dijalani, yaitu suntik divalin satu kali setiap bulannya. Karena suntik ini bisa memengaruhi ketidakstabilan hormon, dokter kandungan menyarankan untuk dilakukan antara 3-6 kali.

Karena itu, jika kami segera menikah, maka terapi ini bisa dihentikan. Aku sepakat untuk menjalani terapi ini sebanyak empat kali.

Satu bulan sebelum pernikahan, atasan kantorku mengharuskan aku untuk kembali ke Jakarta. Di sini, aku merasa kaget dan bingung.

Ikatan dinas tiga tahun yang baru aku jalani selama enam bulan membuatku merasa berat, karena harus memutuskan untuk kembali ke Jakarta atau aku memilih untuk resign.

Jika memilih untuk tetap kembali ke Jakarta, maka aku hanya memiliki kesempatan mutasi satu kali saja dan sisanya harus siap kapan saja untuk dilakukan mutasi oversea, yang artinya akan jauh dengan anak dan suami nantinya.

Setelah berdiskusi dengan keluarga dan pasanganku, aku memutuskan untuk resign dengan segala konsekuensi yang harus diterima, daripada harus menjalani hubungan jarak jauh dengan pasangan.

Untungnya, keputusan ini didukung penuh oleh keluarga dan pasangan, sehingga aku mantap untuk memutuskan resign.

Hari membahagiakan itu akhirnya tiba. Setelah berbagai rintangan dan tantangan saat mempersiapkan hari bahagia sudah dilewati, kami bisa menata masa depan bersama melalui ritual pernikahan ini.

Baca Juga: Serunya Menikmati Tahun Pertama bersama Bayi Prematur

Empat Belas Bulan Menanti, Akhirnya Si Kecil Tiba ke Dunia

kista-1.jpg
Foto: kista-1.jpg (Orami/Hafida Satya Aryani)

Foto: Orami/Hafida Satya Aryani

Setelah menikah, banyak omongan orang menanyakan, “Sudah hamil belum?”, "Kapan nih mau punya anak?”, pertanyaan-pertanyaan itu terkadang membuatku sedih. Aku pun juga ingin segera memiliki anak setelah menikah.

Hingga bulan ke empat belas setelah kami menikah, akhirnya dua garis yang selama ini dinantikan pun muncul. Rasanya terharu dan bahagia.

Persiapan demi persiapan mulai dari yoga, hypnobirthing, membeli kebutuhan anak, mempersiapkan mental dan juga persiapan keuangan kami lakukan.

Setelah sembilan bulan, akhirnya anak kami lahir secara normal per vagina di usia kehamilan 40 minggu lebih 1 hari. Aku merasa nyaman selama hamil dan proses persalinan.

Baca Juga: Perjuangan Menyusui Bayi BBLR, Dimulai dengan Dot hingga Akhirnya Bisa Direct Breastfeeding

Tutup Telinga Saat Banyak Omongan Miring Tentang Menjadi Stay-At-Home Mom

kista-2.jpg
Foto: kista-2.jpg (Orami/Hafida Satya Aryani)

Foto: Orami/Hafida Satya Aryani

Jujur saja, alasan terberatku untuk memilih resign adalah karena merasa sudah lelah kalau harus menjalani hubungan jarak jauh lagi setelah tujuh tahun menjalaninya semasa pacaran.

Impian terbesarku ketika menerima ajakan pasangan untuk menikah sudah bukan lagi karier, tetapi karena ingin bisa selalu dekat dengan keluarga, dan membesarkan anak dengan penuh kasih sayang dari orang tuanya, tanpa terpisah jarak.

Pilihan yang diambil ini memang berat. Tapi aku percaya, jika sejatinya karier terbesar seorang ibu adalah di dalam rumah menjadi madrasah bagi anak-anaknya.

Tidak peduli setinggi apapun tingkat pendidikan seorang ibu, dia harus sekolah tinggi karena di tangannya akan tercetak anak-anak hebat dan cerdas.

Meskipun harus meletakkan ijazah sarjanaku, tapi semuanya akan terbayar lunas ketika aku menjadi orang pertama yang melihat tumbuh kembang anak setiap detiknya.

Selama 14 bulan, anak kami bertumbuh dengan pemberian penuh cinta dan kasih. Ia menjadi anak cerdas yang selalu mengerti kondisi orang tuanya.

Tidak pernah menangis, dan selalu membuat bahagia dengan tingkah lucunya setiap waktu.

Meskipun pernah didiagnosis faltering growth di usia empat bulan oleh dokter anak, tapi Alhamdulillah perjuangan ini akhirnya bisa kita lalui bersama.

Semoga kita selalu bisa menemani setiap tahapan tumbuh kembangmu, Nak. Karena generasi hebat lahir dari ibu yang bahagia, dan ibu yang bahagia tercipta dari keluarga yang sehat dan harmonis.

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb