23 Juli 2019

Serunya Menjalani Kehamilan Pertama Jauh dari Suami sambil Berjuang Mendapatkan Beasiswa

Demi bisa berkumpul dengan suami yang bertugas di New York, saya dan janin dalam kandungan berjuang untuk mendapatkan beasiswa
Serunya Menjalani Kehamilan Pertama Jauh dari Suami sambil Berjuang Mendapatkan Beasiswa

Oleh Lusia NS (29 tahun), Ibu dari Shena (4 bulan), Member WAG Orami Newborn Moms dan Orami Working Moms

Kehamilan pertama saya ini benar-benar pengalaman yang luar biasa dan tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Bagaimana tidak luar biasa? Ketika menjalani kehamilan, saya harus terpisah jauh dari suami karena ia mendapat penempatan kerja di New York, Amerika Serikat.

New York dan Jakarta berjarak lebih dari 16 ribu kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 22 jam perjalanan. Belum lagi perbedaan waktu 12 jam antara New York dan Jakarta yang membuat jarak saya dan suami terasa begitu jauh.

Jalani Kehamilan Pertama Jauh dari Suami

Pengalaman Kehamilan Pertama_LDR dengan Suami dan Berjuang Mendapatkan Beasiswa-1.jpeg
Foto: Pengalaman Kehamilan Pertama_LDR dengan Suami dan Berjuang Mendapatkan Beasiswa-1.jpeg (Orami/Lusia NS)

Saya dan suami menikah pada Oktober 2017. Jauh sebelum menikah, kami tahu ada risiko long distance marriage (LDM) dalam pernikahan kami mengingat suami memang bekerja sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri.

Sebagai diplomat, dia bisa kapan saja ditugaskan di perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Sebagai istri yang juga bekerja, saya harus siap ditinggal suami tugas untuk waktu yang tidak sebentar.

Benar saja, lima bulan setelah menikah, tepatnya pada Maret 2018, suami harus pergi untuk bertugas di luar negeri. Dia mendapat penempatan di New York, Amerika Serikat. Kami pun harus berpisah untuk sementara waktu.

Pada Mei 2018, saya mengunjungi suami di New York. Setelah satu bulan pulang dari mengunjungi suami, kira-kira di bulan Juni 2018, saya mendapat kejutan indah.

Menstruasi yang tidak kunjung datang dan mual yang kerap saya rasakan berbuah manis. Ketika melakukan tes kehamilan dengan test pack, dua garis merah lah yang muncul.

Tentunya, ini menjadi kabar yang sangat membahagiakan bagi saya dan suami. Buah cinta yang menjadi harapan setiap pasangan suami istri hadir juga.

Di satu sisi, saya dan suami begitu berbahagia. Namun, di sisi lain ini menjadi pikiran untuk kami karena saya harus menjalani kehamilan pertama ini dengan kondisi terpisah jauh dari suami. Bukan hanya saya yang merasa ini adalah sesuatu yang berat. Suami pun merasakan hal yang sama.

Betapa tidak, dia harus berada jauh dari istri dan calon anaknya. Namun, apa mau dikata. Sebagai abdi negara, dia tentu harus menjalani tugasnya meskipun terpaksa harus jauh dari keluarga.

Sedari awal menikah, sebelum suami berangkat untuk penempatan, kami memang sudah berdiskusi agar saya tidak resign atau cuti di luar tanggungan negara selama tiga tahun dengan status saya sebagai ASN ketika suami ditempatkan di luar negeri.

Cuti di luar tanggungan negara adalah izin panjang bisa diajukan oleh ASN dengan catatan tidak memperoleh hak keuangan sama sekali. Di luar itu, masih ada opsi lain.

Opsi lain, saya menyusul suami dengan cara melanjutkan pendidikan di kota tempat suami berdinas. Saya tidak harus resign atau cuti di luar tanggungan negara. Saya juga bisa melanjutkan pendidikan dan tentunya tetap dekat dengan suami.

Kami pun sepakat agar saya mencoba untuk melanjutkan pendidikan S2 di New York sembari mendampingi suami di sana. Opsi ini pun tidak mudah dijalani, karena saya harus menjalani proses ini seorang diri, sementara suami saya sudah harus berangkat ke New York. Semua terasa makin berat ketika saya dinyatakan hamil.

Hamil, jauh dari suami, dan harus menyiapkan berbagai hal untuk melanjutkan mendidikan di New York. Semuanya betul-betul tidak mudah.

Sambil menjalani trimester pertama kehamilan, saya mencoba mendaftar beberapa kampus di New York dan beberapa program beasiswa.

Puji Tuhan, karena dari awal memang suami saya mendukung penuh opsi ini, sehingga meskipun terpisah jauh, suami juga sangat membantu saya. Baik dalam memberikan semangat maupun membantu mengoreksi esai saya.

Baca Juga: Serunya Drama Hamil Kembar saat Si Sulung Masih Batita

Perjuangan Mencari Beasiswa ke New York

WhatsApp Image 2019-07-22 at 10.50.09 (1).jpeg
Foto: WhatsApp Image 2019-07-22 at 10.50.09 (1).jpeg

Melanjutkan pendidikan di luar negeri bukan hal mudah, terlebih untuk saya yang ingin mengambil beasiswa karena tidak mungkin saya kuliah dengan biaya sendiri. Biayanya begitu besar.

Pertama, saya harus mengurus administrasi pendaftaran kampus, mulai dari mengambil tes TOEFL iBT, meminta surat rekomendasi dari dosen dan atasan saya, sampai harus menyusun esai. Saya juga harus mencari beasiswa-beasiswa.

Ketika pertama mencoba mendaftar, kegagalan pun sudah saya rasakan. Ketika mencoba mendaftar di salah satu program beasiswa, yaitu Fulbright AMINEF, saya dinyatakan tidak lolos di seleksi administrasi.

Bagi saya, pengalaman kegagalan ini sangat menyedihkan, apa lagi tidak lolos di seleksi administrasi. Ibarat baru akan memulai peperangan sudah kalah telak. Mungkin kalau saya gagal di seleksi wawancara, saya akan lebih menerima, karena saya bisa mengevaluasi performa saya.

Menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru dari kampus-kampus yang saya daftar pun sungguh membuat perasaan jadi tidak karuan. Ada kampus yang dari awal sudah mengumumkan saya diterima, tapi nama kampus tersebut tidak masuk ke dalam daftar kampus pilihan untuk program beasiswa LPDP.

Saya juga mendaftar di New York University yang memang masuk dalam daftar LPDP. Tapi, pengumuman hasil penerimaan mahasiswa barunya tidak kunjung ada. Saya sempat khawatir karena tidak lama lagi, pendaftaran beasiswa LPDP akan ditutup.

Puji Tuhan, satu minggu sebelum penutupan pendaftaran beasiswa LPDP, saya menerima email dari New York University bahwa saya diterima di program MA in Global Affairs. Kebahagiaan saya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Perjuangan saya tidak sampai di situ. Setelah mendaptkan letter of acceptance (LoA) dari New York University, saya masih harus berjuang untuk mengikuti seleksi beasiswa LPDP. Tanpa beasiswa itu, saya tetap tidak bisa berkuliah di sana.

Mengikuti seleksi beasiswa LPDP pun tidak mudah. Belajar dari pengalaman saya gagal di seleksi administrasi Fulbright, saya berusaha tidak menyepelekan seleksi administrasi.

Agar tidak kembali gagal di seleksi administrasi, saya benar-benar memastikan kelengkapan dokumen serta menyusun esai dan rencana studi yang berkualitas.

Setelah dinyatakan lolos seleksi administrasi, saya masih harus melalui seleksi substansi dan seleksi wawancara. Pada tahapan tersebut, saya harus benar-benar menyiapkan diri dengan belajar.

Dengan kondisi hamil, tentunya untuk bisa belajar serius menjadi salah satu hal yang menantang. Setiap terbangun tengah malam entah karena lapar ataupun ingin buang air kecil, saya sempatkan membaca dan belajar sebelum tidur lagi.

Untungnya, selisih waktu antara Jakarta dan New York 12 jam, sehingga setiap saya terbangun tengah malam, suami bisa menemani saya belajar melalui video call. Belum lagi lokasi tes yang jauh dan untuk mobilitas sendiri saya hanya mengandalkan taksi online karena tidak ada yang bisa mengantar.

Semuanya saja jalani dengan ikhlas dan penuh tekad demi bisa berkumpul dengan suami di New York.

Hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Perjuangan mempersiapkan beasiswa dengan kondisi hamil dan jauh dari suami berbuah manis. Saya dinyatakan lulus semua tahapan seleksi beasiswa LPDP.

Tapi ternyata ini bukan akhir dari perjuangan. Masih ada tahapan lain yang harus saya lalui dengan kondisi kehamilan yang semakin membesar.

Setelah dinyatakan lulus semua tahapan seleksi beasiswa, saya pun harus mengikuti orientasi di Depok. Masa orientasi itu saya jalani ketika usia kehamilan menginjak 36 minggu. Dokter kandungan dan keluarga sudah mewanti-wanti agar saya jangan terlalu lelah.

Puji Tuhan, teman-teman angkatan saya yang juga mengikuti orientasi sangat perhatian dan membantu saya. kebetulan, ada lima ibu hamil yang mengikuti masa orientasi dan saya yang usia kehamilannya paling tua.

Kalau sekarang mengingat-ingat pengalaman itu, saya cuma bisa tertawa geli sendiri. Kok bisa ya, saya hamil mandiri banget?

Baca Juga: Belum Rela Titip Anak di Daycare, Suami Pilih Jadi Bapak Rumah Tangga

Afirmasi Positif untuk Janin

WhatsApp Image 2019-07-22 at 10.50.09.jpeg
Foto: WhatsApp Image 2019-07-22 at 10.50.09.jpeg

Meskipun harus hidup mandiri dan melalui semua proses yang menyita pikiran dan perasaan, saya selalu berupaya memberikan afirmasi positif kepada janin di dalam kandungan.

Setiap malam, bahkan dari awal kehamilan, selalu menyampaikan ke janin bahwa saya bersyukur memilikinya dan kalau bukan karenanya, saya tidak mungkin dapat melalui ini semua.

Saat pikiran atau hati sedang gundah, saya selalu mengajak janin untuk berdoa bersama. Yakin bahwa kami bisa melalui semua tantangan ini.

Setiap malam saya selalu sampaikan ke janin saya, "Halo adek, terima kasih sudah menemani Mama hari ini kerja. Terima kasih adek hari ini kooperatif sekali dan mendukung Mama beraktivitas. Mama bersyukur punya adek. Adek sehat-sehat yah".

Setiap membaca pengalaman orang di internet atau mendengar pengalaman teman, masa kehamilan seolah menjadi momok yang menyulitkan.

Mulai dari mual dan muntah, lemas, pusing, susah makan, ngidam yang tidak tersalurkan, dan sebagainya. Tapi tidak bagi saya, karena rasanya saya tidak mengalami itu semua.

Saya masih bisa bekerja seperti biasa dan bahkan bisa melalui rangkaian tes beasiswa. Puji Tuhan pengalaman kehamilan ini sangat nyaman dan menyenangkan.

Baca Juga: Ketika Daycare jadi Pilihan Satu-satunya dan Ternyata Memang yang Terbaik

Suka Duka Jalani Kehamilan Tanpa Suami

Pengalaman Kehamilan Pertama_LDR dengan Suami dan Berjuang Mendapatkan Beasiswa-5.jpg
Foto: Pengalaman Kehamilan Pertama_LDR dengan Suami dan Berjuang Mendapatkan Beasiswa-5.jpg (Orami/Lusia NS)

Meskipun kehamilan ini sangat nyaman, menyenangkan, dan saya terkesan kuat menjalani semuanya, tapi terkadang ada juga yang membuat saya baper.

Misalnya, di masa awal kehamilan, saya baper ketika melihat ibu-ibu lain ditemani suaminya melakukan kontrol kandungan ke dokter.

Sebagai solusi mengobati kebaperan saya, akhirnya saya meminta izin ke dokter kandungan untuk melakukan video call dengan suami selama kontrol. Tujuannya tentu saja agar saya tidak merasa sendirian.

Tak hanya itu, setiap kali kontrol, ibu dan mama mertua juga ikut menemani. Bahkan terkadang ada adik ipar saya pun ikut menemani. Keluarga besar memang menyambut gembira kehadiran bayi kecil kami. ini adalah anak pertama kami dan kebetulan akan menjadi cucu pertama dari kedua pihak keluarga.

Dari yang awalnya kontrol sendirian, sekarang tiap kali saya kontrol jadi yang paling ramai. Bayangkan, kontrol ke dokter kandungan ditemani ibu, mertua, kakak ipar, dan sambil video call di ruangan dengan suami.

Dokter kandungan saya juga menolong dan komunikatif. Terima kasih ya, Dok, karena sudah mengizinkan saya jadi pasien paling heboh setiap kali kontrol!

Pada April 2019, bayi kecil kami lahir ke dunia di usia kandungan 38 minggu. Kami memberinya nama Shena. Kini, gadis kecil kami sudah berusia 4 bulan. Kebersamaan selama 38 minggu bersamanya menjalani kehamilan dan melahirkannya ke dunia ini menjadi momen paling berharga dalam hidup saya.

Pengalaman kehamilan pertama benar-benar mengajarkan banyak hal kepada saya. Pertama, bahwa hamil dan menjadi seorang ibu bukan suatu hambatan bagi seorang perempuan untuk berkembang menjadi individu yang lebih baik.

Kedua, saya belajar bahwa pengalaman kehamilan adalah pengalaman pribadi setiap ibu yang tidak mungkin dibandingkan dengan pengalaman ibu lain.

Saya sering mendapat pujian bahwa saat hamil saya sangat kuat dan mandiri. Tapi bagi saya pribadi, saya tidak mau membandingkan pengalaman kehamilan saya dengan ibu lainnya.

Ketiga, saya belajar betapa pentingnya support system yang solid bagi ibu baru. Saya tidak mungkin dapat melalui ini semua tanpa dukungan dan bantuan suami, keluarga, dokter kandungan, rekan-rekan saya, dan tentunya juga janin saya.

Terakhir, saya belajar tentang cinta yang tulus dari seorang Ibu. Saya takjub betapa saya sangat mencintai bayi kecil yang ada dalam kandungan ini meskipun kami belum pernah bertemu. Setiap hari rasanya selalu jatuh cinta pada bayi kecil ini.

Baca Juga: Barang Preloved untuk Si Kecil? Enggak Masalah!

Satu lagi, saya mohon doanya ya, Moms, September 2019 ini saya akan memulai kuliah di New York University dan mengajak anak ke New York juga. Semoga saya dapat melanjutkan pendidikan selama dua tahun dengan lancar sekaligus dapat membesarkan anak saya dengan baik.

Inilah cerita kehamilan saya yang penuh warna. Bagaimana cerita kehamilan Moms?

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb