25 Januari 2021

Dirawat Sendirian karena Covid-19, Stres Berat Rasanya karena Harus Pisah dari Suami dan Anak-anak

Ternyata saya mengalami infeksi paru sehingga harus dirawat di rumah sakit dan berpisah dengan keluarga
Dirawat Sendirian karena Covid-19, Stres Berat Rasanya karena Harus Pisah dari Suami dan Anak-anak

Oleh Nurul Fauzia (32 tahun), Moms dari Nur Raisa Rafhanah Azalea (8 tahun 9 bulan) dan Nur Raina Ava Azalea (18 bulan), wiraswasta.

Kasus virus corona (Covid-19) di Indonesia masih belum menunjukkan adanya perbaikan. Setelah sempat turun angkat infeksi Covid-19 di masyarakat, kini angka tersebut kembali menunjukkan kenaikan.

Meski begitu, masih ada saja dari kita yang masih tidak percaya bahwa Covid-19 itu benar adanya.

Mungkin baru akan percaya jika ada teman, keluarga atau bahkan diri kita sendiri yang terinfeksi Covid-19, yang mana hal inilah yang kita semua hindari dan tidak inginkan.

Sayangnya tidak dengan Moms Nurul. Meskipun sudah mengikuti berbagai protokol kesehatan dan sebisa mungkin melindungi diri dan keluarganya dari virus ini, dirinya harus pasrah dinyatakan positif terinfeksi Covid-19.

Bagaimana kisah Moms Nurul melawan 'musuh' seluruh umat di dunia ini? Yuk simak ceritanya, Moms.

Baca Juga: Saya Berjuang di Tengah Pandemi CoVID-19 di Malaysia dengan Kondisi Hamil Tua dan LDR dengan Suami

Seperti Pilek, Hidung Tidak Bisa Mencium Bau

cerita covid-19
Foto: cerita covid-19

Foto: wexnermedical.osu.edu

Hari Kamis dan Jumat, tepatnya tanggal 12-13 November 2020, saya merasa hidung saya sakit sekali. Tapi hanya sesekali saja rasa sakitnya datang.

Tidak terlintas di pikiran, bahwa saya terinfeksi Covid-19, karena memang sebelumnya tidak ada kontak dengan pasien Covid-19 yang terkonfirmasi.

Saya tidak tahu mungkin di jalan, di toko, atau di kolam berenang, mungkin ada Orang Tanpa Gejala (OTG) atau suspect Covid-19.

Hari Jumat, 13 November 2020 subuh, saya dan keluarga bertandang ke Bandung. Sesampainya di sana, kami langsung membawa anak-anak ke kolam renang.

Jika Moms bertanya mengapa kami berani ke Bandung? Jawabannya karena saat itu kondisi kami sehat, bahkan sehat sekali.

Untuk sakit hidung pun hanya saya rasakan sesekali dan pada malam saja. Jadi tidak ada kepikiran ke arah infeksi Covid-19.

Jujur sampai sekarang setelah tahu bahwa saya waktu itu positif Covid-19, saya menyesal sudah ke Bandung. Kesannya seperti membuat repot saja.

Lalu Sabtu, 14 November 2020, indera penciuman saya seperti tidak bisa mencium bau.

Saya memastikan lagi dengan bertanya ke suami, ke keluarga saya yang lain yang bau parfumnya biasa kuat, tetap tidak tercium bau sama sekali.

Suami saya hanya bilang, "Mau pilek kayanya.” Saya pun langsung minum obat untuk pilek.

Supaya pileknya tidak menular, mulai dari situ saya selalu menggunakan masker dan tidak saya lepas-lepas.

Selain tidak bisa mencium bau, badan saya terasa baik-baik saja. Tidak ada gejala lain yang dirasakan, apalagi gejala Covid-19 pada umumnya.

Baca Juga: Suami Pindah Tugas ke Jerman, Saya Harus Ekstra Hati-hati Bawa Bayi Terbang Jauh di Tengah Pandemi

Siangnya kami makan di luar. Sepanjang perjalanan saya browsing informasi perihal indera penciuman yang tidak berfungsi ini. Dan nyatanya banyak artikel yang merujuk ke Covid-19!

Baik, saya akui di sini saya mulai merasa parno. Tidak berani memegang orang, masker pun tidak saya lepas.

Baru ketika makan saya sadar, lidah saya pun ternyata tidak bisa merasakan apa pun. Sesampainya di rumah, tes rasa makan ini itu, membaui barang, nihil. Tidak terasa apapun.

Lalu malamnya saya konsultasi dengan beberapa keluarga, mereka pun menyarankan saya untuk melakukan tes SWAB.

Ternyata Memang Positif Covid-19

positif Covid-19
Foto: positif Covid-19

Foto: reuters.com

Akhirnya saya memutuskan pulang. Lalu Minggu, 15 November 2020 pagi ke Bogor. Sambil di jalan melihat laboratorium untuk tes SWAB, berharap ada yang buka.

Memang ada yang buka, hanya saja harganya sangat mahal.

Saya akhirnya baru melakukan tes SWAB Senin, 16 November 2020. Karena keterbatasan biaya, kami memutuskan hanya saya yang melakukan tes.

Di sini saya sudah mulai merasakan lemas dan tidak nafsu makan.

Jadi sejak saya merasakan adanya gejala, kita langsung melakukan isolasi mandiri dan mulai mengabari keluarga dan orang-orang terdekat kita.

Suami, anak-anak, teh Itoh, dipantau selama isolasi. Baru jika ada keluhan, melakukan tes. Kita melakukan tes mandiri supaya cepat ketahuan juga hasilnya.

Yang saya sesali sekali adalah kami sempat ke Bandung, yang mana di sana ada ibu saya, Aki, dan juga para bayi. Jujur stres dan sedih memikirkan hal itu, dibanding hasil SWAB sendiri.

Kalau positif pun, toh fisik saya masih sehat dan kuat.

Baca Juga: Sedih dan Berat Rasanya, Didiagnosis Covid-19 Membuat Saya Harus Menjauhi Anak-anak

Dan Selasa, 17 November 2020, ketakutan saya pun akhirnya terjadi. Saya dinyatakan positif Covid-19.

Karena gejalanya ringan, saya memutuskan untuk isolasi mandiri saja. Untuk makanan pun Alhamdulillah dapat dari ibu saya.

Bercampur Infeksi Paru, Akhirnya Harus Dirawat

cerita covid-19
Foto: cerita covid-19 (inudgeyou.com)

Foto: Orami Photo Stock

Rabu, 18 November 2020, badan saya mulai merasa lelah sekali. Padahal saya tidak bekerja berat. Hanya beres-beres kamar saja.

Dada saya mulai terasa sesak. Ada demam juga. Sebenarnya suhunya hanya 37 derajat Celsius, tapi menggigil hebat dan lemas.

Selama Covid-19 saya tetap dipantau dokter via WhatsApp.

Baru besoknya dada saya panas dan sesak banget. Lemas sudah pasti, badan terasa ngilu dan agak meriang.

Akhirnya setelah dipaksa semuanya, saya berani cek ke IGD PMI. Yang ada dipikiran saya saat itu adalah anak-anak saya. Apalagi anak saya masih ada yang menyusui. Dan biaya juga. Ya, keparnoan ibu-ibu pada umumnya lah.

Siangnya saya ke RS PMI, karena ini bukan rumah sakit rujukan Covid-19, untuk rontgen dan cek laboratorium, hasilnya cukup lama. Tapi Alhamdulillah tenaga kesehatan di sini sangat membantu.

Hasilnya keluar di malam hari. Ternyata ada infeksi di paru, dan saya tidak diperbolehkan isolasi mandiri lagi. Perasaan saya saat itu campur aduk.

Malam itu juga saya langsung dirawat. Sendirian. Rasanya stres!

Sakit saya kalah dengan stres yang saya alami. Semalaman pun tidak bisa tidur akhirnya.

Mulai malam itu, saya pun tidurnya resmi ditemani dengan tembok.

Dua Kali Tes, Akhirnya Negatif

cerita covid-19
Foto: cerita covid-19

Foto: Dok. Nurul Fauzia

Singkat cerita, selama di rumah sakit, tenaga kesehatannya sering sekali mengecek kondisi saya. Sehari bisa 2-3 kali. Jika ada keluhan, bisa lebih sering lagi.

Dua hari pertama saya memakai oksigen, karena napas saya sudah agak susah dan memang harus diberi bantuan.

Saya juga diberi minum parasetamol setiap 4-6 jam sekali, karena memang panasnya naik turun, tidak menentu.

Lalu hari kedua di rumah sakit gejala saya bertambah dengan diare. Saya diberi obat tambahan dan diare ini akhirnya sembuh dihari keempat.

Tak sampai di situ saja, setelah diare, kali ini saat saya buang air besar ada darahnya. Untuk hal ini dokter dan perawat pun tidak tahu penyebabnya apa.

Dan saya rasanya juga mual sekali.

Baca Juga: Sedih Sekeluarga Didiagnosis COVID-19, ASI Saya Berhenti Mengalir

Jadi treatment yang diberikan dokter saat itu, selain oksigen, obat minum, dan ada beberapa obat yang disuntikkan, karena saat itu saya merasa mual. Takut obatnya dimuntahkan.

Tapi untungnya tidak sampai diinfus juga. Saya melakukan SWAB dua kali selama di rumah sakit. SWAB pertama hasilnya masih positif.

Baru SWAB kedua, Rabu, 26 November 2020, yang hasilnya keluar di besok sorenya, hasil menunjukkan negatif. Saya pun pulang ke rumah.

Jadi saya total dirawat selama satu minggu lebih. Perawatan saya tergolong cepat, karena biasanya rata-rata 10 harian. Hingga satu bulan pun ada.

Suami dan Anak-anak Juga Melakukan Isolasi Mandiri

cerita covid-19
Foto: cerita covid-19

Foto: Orami Photo Stock

Dengan saya yang masuk rumah sakit, suami dan anak-anak saya, serta pengasuh yang membantu pun melakukan isolasi mandiri juga.

Meskipun tidak ada gejala yang muncul, karena takut terpapar oleh saya, jadi mereka melakukan isolasi juga.

Mereka isolasi mandiri selama dua minggu penuh di rumah. Jadi anak-anak saya dirawat oleh suami dan pengasuh di rumah.

Untungnya untuk masalah makanan ada mama saya yang suka membantu mengantarkan makanan untuk kami, karena rumah kami memang berdekatan.

Jadi suami dan anak-anak di rumah cukup terbantu juga.

Mereka harus melakukan isolasi mandiri dan tidak keluar ke mana pun. Untungnya anak saya yang sudah besar, yang berumur 8 tahun, sudah lumayan mengerti bahwa ibunya terinfeksi Covid-19.

Dia juga sudah paham karena takut terpapar dari saya, jadi harus melakukan isolasi mandiri.

Walaupun sempat bosan dan menangis juga, karena yang namanya anak-anak kan memang suka bermain.

Jadi ada perasaan kesal dan sedih juga tidak bisa bermain di luar bersama teman-temannya.

Lalu yang kecil untungnya sejak umur 7 bulanan dia sudah saya berikan ASI dicampur dengan susu formula.

Karena saya bekerja dari pagi sampai sore, biasanya dari sore ke malam Si Kecil baru full minum ASI.

Baca Juga: Gejala dan Cara Mencegah Covid-19 pada Ibu Hamil, Wajib Tahu!

Nah, saat saya isolasi mandiri, sama sekali di rumah tidak minum susu formula dan minum ASI saja.

Namun ketika saya dirawat, otomatis Si Kecil tidak minum ASI dan saat saya pulang dia sudah tidak mau minum ASI lagi.

Si Kecil jadi seperti takut, tidak tahu apa penyebabnya juga.

Setelah 12 hari melakukan isolasi mandiri, suami, anak-anak, dan pengasuh saya pun melakukan tes rapid. Alhamdulillah, semuanya non-reaktif.

Mengapa pilih tes rapid? Karena selama isolasi mereka tidak memiliki keluhan dan gejala apapun.

Selama saya positif Covid-19, banyak orang dan keluarga yang membantu kami. Ibu saya sudah pasti yang nomor satu.

Keluarga pun, sahabat-sahabat, banyak yang memberikan dukungan moril dan materi. Saya pribadi sangat terbantu dan sangat berterima kasih.

Semoga kisah saya sebagai penyintas Covid-19 bisa menjadi pelajaran berharga untuk Moms semua. Kita tidak pernah tahu bagaimana virus ini menjangkit di tubuh kita. Namun, penting bagi kita untuk selalu melakukan pencegahan.

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb