14 November 2022

Depersonalisasi, Gangguan Kesehatan Mental Seolah Tubuh Terpisah dari Jiwa

Pernahkah Moms merasa berada di luar tubuh?
Depersonalisasi, Gangguan Kesehatan Mental Seolah Tubuh Terpisah dari Jiwa

Gangguan depersonalisasi adalah kondisi kesehatan mental yang sekarang secara resmi dikenal sebagai gangguan depersonalisasi-derealisasi (DPDR)

Depersonalisasi atau derealisasi merupakan fenomena ketika seseorang merasa terpisah dari pikiran, perasaan, dan tubuhnya sendiri, atau merasa terputus dengan lingkungan sekitarnya.

Meski demikian, orang yang mengalami gangguan ini tidak kehilangan hubungan atau kontak dengan kenyataan. Mereka masih sadar bahwa persepsi mereka yang aneh tersebut tidak nyata.

Namun, ketika perasaan ini terus terjadi atau tidak pernah benar-benar hilang dan mengganggu kemampuan Moms dalam aktivitas, segeralah cari pertolongan medis.

Berikut ini adalah informasi seputar depersonalisasi. Jangan sampai lupa dicatat ya, Moms!

Baca Juga: Wajib Tahu, Ini Penyebab dan 5 Jenis Halusinasi yang Bisa Jadi Tanda Penyakit Mental

Depersonalisasi: Merasa Asing dengan Diri Sendiri

Ilustrasi Gangguan Mental
Foto: Ilustrasi Gangguan Mental

Seperti yang sudah dijelaskan, depersonalization-derealization disorder (DPDR, DPD) adalah gangguan mental ketika orang merasakan perasaan jauh dari diri sendiri secara mental atau fisik.

Kondisi ini juga bisa menyebabkan rasa realitas yang berkurang.

DPDR bisa membuat orang dengan gangguan mental ini mengalami perasaan seakan asing dengan diri sendiri dan berasa berada di luar tubuhnya (depersonalisasi).

Penderitanya juga akan merasa tidak nyata (derealisasi).

Berbeda dengan gangguan mental lainnya yang umum tidak disadarkan, justru kondisi mental ini disadari bahwa kondisinya tidak nyata.

Namun, sayangnya malah membuat orang dengan gangguan ini khawatir tentang kesehatan mentalnya secara terus menerus.

Baca Juga: 25+ Produk Blackmores Terbaik untuk Suplemen Harian, Yuk Jaga Kesehatan!

Jenis DPDR

Mengutip dari Very Well Mind, DPDR adalah salah satu dari 4 jenis gangguan disosiatif.

Sebagai informasi, gangguan disosiatif adalah salah satu jenis penyakit mental yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian hubungan antara pikiran, ingatan, lingkungan, tindakan, serta identitas diri.

Nah, jika kondisi ini tidak ditangani, gangguan diosiatif ini bisa menyebabkan depresi dan kecemasan hingga bisa membentuk trauma.

Mengacu pada DSM-5, kondisi disosiasif lainnya meliputi:

  • Amnesia disosiatif, kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting tentang hidup.
  • Fugue disosiatif, bentuk amnesia reversibel yang terkait kepribadian, ingatan, dan identitas pribadi.
  • Gangguan identitas disosiatif (DID), suatu kondisi yang ditandai dengan adanya 2 atau lebih kepribadian yang berbeda dalam satu individu.

Baca Juga: 6 Rekomendasi Psikolog Bali untuk Atasi Masalah Kesehatan Mental

Faktor Risiko Depersonalisasi

Kondisi ini memang bisa dialami siapa saja, tapi perempuan lebih berisiko DPDR dibanding laki-laki. Berikut faktor risiko lainnya.

  • Riwayat penggunaan narkoba, yang dapat memicu depersonalisasi atau derealisasi
  • Faktor genetik atau bawaan, seperti riwayat kesulitan beradaptasi dengan situasi sulit
  • Depresi atau kecemasan, terutama depresi berat atau berkepanjangan atau kecemasan dengan serangan panik
  • Mengalami atau melihat peristiwa traumatis, seperti mengalami pelecehan saat anak-anak atau saat dewasa
  • Stres berat dalam kehidupan, mulai dari hubungan hingga keuangan dan pekerjaan.

Baca Juga: Piracetam, Obat yang Digunakan untuk Mengatasi Masalah Mental

Apa Saja Gejala Depersonalisasi?

Depersonalisasi.jpg
Foto: Depersonalisasi.jpg

Gejala depersonalisasi umumnya terbagi dalam 2 kategori, yaitu gejala depersonalisasi dan gejala derealisasi.

Orang dengan depersonalisasi dapat mengalami gejala hanya satu atau bahkan keduanya.

Melansir Healthline, gejala depersonalisasi dapat meliputi:

  • Merasa seperti berada di luar tubuh, terkadang seolah-olah memandang rendah diri sendiri dari atas
  • Merasa terlepas dari diri sendiri, seolah-olah tidak memiliki diri yang sebenarnya
  • Mati rasa di pikiran atau tubuh, seolah-olah indra dimatikan
  • Merasa seolah-olah tidak dapat mengendalikan apa yang sedang dilakukan atau katakan
  • Merasa seolah-olah bagian tubuh salah ukurannya
  • Kesulitan melampirkan emosi ke ingatan

Sedangkan gejala derealisasi meliputi:

  • Mengalami kesulitan mengenali atau menemukan lingkungan
  • Merasa seperti dinding kaca memisahkan diri dari dunia
  • Merasa dapat melihat apa yang ada di luar tetapi tidak dapat terhubung
  • Merasa seperti lingkungan tidak nyata atau tampak datar, buram, terlalu jauh, terlalu dekat, terlalu besar, atau terlalu kecil
  • Masa lalu mungkin terasa sangat baru, sementara peristiwa baru-baru ini terasa seolah-olah sudah lama terjadi

Individu dengan gangguan depersonalisasi dapat merasa hidup seperti menjadi robot, mengamati diri mereka sendiri dari luar tubuh mereka, atau tinggal dalam dunia mimpi.

Banyak penderita yang mengalami kondisi depersonalisasi jadi merasa takut menjadi gila, depresi, mengalami gangguan cemas, atau panik.

Pada beberapa kasus, depersonalisasi atau derealisasi yang kronik juga dapat menyebabkan disabilitas.

Walaupun penyebabnya belum banyak diketahui secara pasti, faktor biologis dan lingkungan diduga kuat mempunyai peran yang besar.

Beberapa orang terlihat lebih rentan mengalami gangguan disosiatif karena sikap mereka yang lebih tidak bereaksi terhadap emosi.

Atau juga akibat mereka mempunyai gangguan kepribadian tertentu.

Baca Juga: Mengenal Gangguan Psikosomatik, Gangguan Jiwa yang Berpengaruh ke Fisik

Penyebab Depersonalisasi

Depersonalisasi.jpg
Foto: Depersonalisasi.jpg

Melansir Cleveland Clinic, para peneliti masih belum tahu apa yang menyebabkan gangguan depersonalisasi secara pasti.

Hingga setengah dari kasusnya, penyedia layanan kesehatan tidak dapat mengidentifikasi apa yang memicu gangguan tersebut.

Faktor biologis dan lingkungan mungkin berperan.

Walau umumnya dialami akibat trauma psikis, gangguan depersonalisasi juga dapat muncul akibat adanya penyakit lain dalam tubuh.

Beberapa orang mungkin berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan depersonalisasi karena:

  • Sistem saraf yang kurang reaktif terhadap emosi
  • Kepribadian tertentu atau gangguan kesehatan mental lainnya
  • Kondisi fisik, seperti gangguan kejang

Gangguan depersonalisasi juga dapat terjadi setelah stres atau trauma yang intens, seperti:

  • Orang tua dengan penyakit mental yang parah
  • Penyalahgunaan (menyaksikan atau mengalaminya)
  • Kecelakaan
  • Bahaya yang mengancam jiwa
  • Bencana alam
  • Kematian mendadak orang yang dicintai
  • Kekerasan
  • Perang

Penyebab lainnya termasuk:

  • Obat-obatan tertentu, seperti halusinogen
  • Menjadi sangat lelah
  • Kurang tidur atau stimulasi sensorik, yang mungkin terjadi di unit perawatan intensif

Baca Juga: 4 Cara Menyembuhkan Trauma Anak Korban Penculikan

Diagnosis Gangguan Depersonalisasi

Depersonalisasi.jpg
Foto: Depersonalisasi.jpg

Gangguan depersonalisasi didiagnosis melalui wawancara medis-psikiatrik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

Pada wawancara medis umumnya seseorang akan mengungkapkan perasaannya, ia menganggap jiwanya berada di luar raganya.

Seolah-olah ia sedang bermimpi dan melihat raganya berjalan sendiri. 

Dokter akan menelusuri lebih jauh kaitan antara kondisi tersebut dengan adanya trauma psikis tertentu.

Misalnya, kehilangan orang yang ia sayangi, bencana alam, dan sebagainya. 

Setelah itu, perangkat wawancara psikiatrik berupa Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) dapat digunakan untuk memastikan diagnosis gangguan depersonalisasi lebih lanjut.

Pada kasus tertentu, gangguan depersonalisasi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan kesehatan tertentu, misalnya penyakit otak.

Atau penyebab lain seperti penggunaan obat- obat tertentu, penyalahgunaan obat dan alkohol. 

Untuk mengevaluasi kemungkinan ini, dilakukan pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium darah, urine, pencitraan berupa Computed Tomography (CT) Scan maupun Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Baca Juga: Kapan Anak Membutuhkan Terapi Kesehatan Psikis?

Bagaimana Cara Mengatasi Kondisi Depersonalisasi?

Ilustrasi Seseorang dengan Gangguan Mental
Foto: Ilustrasi Seseorang dengan Gangguan Mental

Kebanyakan orang dengan gangguan depersonalisasi yang mencari pengobatan khawatir tentang gejala seperti depresi atau kecemasan, daripada gangguan itu sendiri.

Dalam banyak kasus, gejalanya akan hilang seiring waktu.

Pengobatan biasanya diperlukan hanya jika gangguan tersebut berlangsung lama atau berulang, atau jika gejalanya sangat menyusahkan orang tersebut.

Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi semua tekanan yang terkait dengan timbulnya gangguan.

Pendekatan pengobatan terbaik tergantung pada individu dan tingkat keparahan gejalanya.

Melansir WebMD, beberapa tindakan pengobatan untuk depersonalisasi adalah:

1. Psikoterapi

Jenis terapi untuk gangguan mental dan emosional ini menggunakan teknik psikologis yang dirancang untuk membantu seseorang mengenali dan mengkomunikasikan pikiran.

Mereka juga diajarkan mengutarakan perasaan dengan lebih baik tentang konflik psikologis yang dapat mengarah pada pengalaman depersonalisasi.

Terapi kognitif adalah jenis psikoterapi khusus yang berfokus pada perubahan pola berpikir disfungsional.

Psikoterapi kemudian dibagi lagi menjadi 2 jenis, yaitu:

  • Teknik grounding, yaitu teknik yang membantu penderitanya merasa lebih berhubungan dengan kenyataan. Seperti, memutar lagu keras untuk melibatkan pendengaran. Lalu, memegang es batu untuk terhubung dengan sensasi.
  • Teknik psikodinamik, berfokus pada penyelesaian konflik dan perasaan negatif yang cenderung dilepaskan orang. Selain itu, berlatih fokus pada apa yang terjadi saat ini.

2. Obat-Obatan

Obat umumnya tidak digunakan untuk mengobati gangguan disosiatif.

Namun, jika seseorang dengan gangguan disosiatif juga menderita depresi atau kecemasan, mereka mungkin mendapat manfaat dari obat antidepresan atau anti-kecemasan.

Obat antipsikotik juga kadang-kadang digunakan untuk membantu pemikiran dan persepsi yang tidak teratur terkait dengan depersonalisasi.

Baca Juga: Ini 4 Metode Terapi Berbicara Terbaik Untuk Balita

3. Terapi Keluarga

Terapi semacam ini membantu mendidik keluarga tentang gangguan dan penyebabnya, serta membantu anggota keluarga mengenali gejala depersonalisasi.

4. Terapi Kreatif (terapi seni/terapi musik)

Terapi ini memungkinkan pasien untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan cara yang aman dan kreatif.

5. Hipnosis Klinis

Ini adalah teknik perawatan menggunakan relaksasi intens, konsentrasi, dan perhatian terfokus untuk mencapai keadaan kesadaran.

Terapi ini memungkinkan orang untuk mengeksplorasi pikiran, perasaan, dan ingatan yang mungkin mereka sembunyikan dari pikiran sadar mereka.

Baca Juga: 5 Kisah Anak yang Mengalami Gangguan Jiwa, Ini Penyebabnya

Cara Mengatasi DPDR

Ilustrasi Konsultasi
Foto: Ilustrasi Konsultasi (Freepik.com/shurkin-son)

Selain melakukan beberapa pengobatan di atas, ada beberapa strategi yang bisa membantu orang dengan gangguan mental ini tetap membumi atau tetap berada di kehidupan nyata.

Berikut beberapa cara untuk koping dengan DPDR:

  • Mencubit punggung dengan tangan sendiri
  • Letakkan benda atau sesuatu yang dingin atau panas ke tangan agar bisa merasakan sensasinya
  • Lihat ke sekeliling ruangan dan hitung atau bisa juga dengan memberi nama barang-barang yang dilihat
  • Hindari melamun dan usahakan untuk tetap melihat sekitar
  • Tarik napas panjang dan dalam atau perlambat pernapasan. Lalu, hembuskan napas perlahan-lahan
  • Berlatih meditasi untuk merasa lebih sadar tentang keadaan sekitar
  • Berbicara ke ahlinya atau ke psikolog dan psikiater untuk mendapatkan solusi terbaik.

Itu dia Moms serba-serbi tentang kondisi depersonalisasi.

Bila tidak ditangani, gangguan depersonalisasi dapat membuat penderitanya sulit fokus dalam mengerjakan pekerjaan.

Selain itu, ia juga akan sulit mengingat sesuatu, sulit berkomunikasi dengan keluarga dan orang di sekitar.

Hal ini dapat memicu gangguan cemas, depresi hingga merasa tidak lagi memiliki masa depan.

  • http://fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Ghiyats-Mihmidaty.pdf
  • https://en.wikipedia.org/wiki/Depersonalization-derealization_disorder#:~:text=Depersonalization%20is%20described%20as%20feeling,over%20their%20thoughts%20or%20actions.
  • https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/depersonalization-derealization-disorder/symptoms-causes/syc-20352911
  • https://www.webmd.com/mental-health/depersonalization-disorder-mental-health
  • https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/9791-depersonalizationderealization-disorder
  • https://www.msdmanuals.com/professional/psychiatric-disorders/dissociative-disorders/depersonalization-derealization-disorder
  • https://www.verywellmind.com/derealization-2671582
  • https://www.medicalnewstoday.com/articles/262888
  • https://www.healthline.com/health/depersonalization-disorder#symptoms

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb