Biografi Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Humanis dan Inspiratif
Biografi Gus Dur menceritakan kisah perjalanan hidup presiden RI keempat yang menjadi panutan banyak orang.
Sosok yang terkenal dengan jargon "Gitu Aja Kok Repot" ini merupakan seorang cendekiawan, reformis, politikus, hingga pemimpin agama Islam di Indonesia.
Hobinya yang gemar membaca membuat Gus Dur diperkaya dengan gagasan dan hasil tulisan yang cemerlang.
Ditambah lagi dengan kepeduliannya terhadap masyarakat sekitar, ia mendapatkan julukan sebagai sosok yang humanis.
Maka tak heran jika sampai saat ini makamnya terus ramai diziarahi oleh masyarakat.
Yuk, simak kisah inspiratifnya lebih lengkap lewat biografi Gus Dur berikut ini!
Baca Juga: Biografi Umar bin Khattab, Sahabat Nabi yang Jadi Khalifah
Biografi Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memiliki nama lengkap Abdurrahman ad-Dakhil.
Secara etimologi, kata ad-Dakhil berarti sang penakluk.
Namun, nama tersebut tidak begitu dikenal sehingga diganti dengan nama Abdurrahman Wahid.
Ia lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur dan menjadi anak pertama darri lima bersaudara.
Sang ayah bernama Wahid Hasyid, sedangkan sang ibu bernama Solichah.
Gus Dur terlahir dari keluaga yang sangat terpandang di komunitas muslim Jawa Timur.
Kakek dari pihak ayah, KH. Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Sementara kakek dari pihak ibu, Bisri Syansuri adalah pendidik muslim pertama yang memperkenalkan kelas untuk perempuan.
Nah, sebutan Gus Dur lahir dari lingkungan pesantren tempat ia tumbuh.
Gus adalah kependekan dari kata Bagus, yaitu sebutan kepada anak seorang kyai sebagai bentuk penghormatan di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Baca Juga: Mengenal Pak Raden, Sosok di Balik Tokoh Kartun Si Unyil!
Pendidikan Gus Dur
Tak hanya dari segi ilmu agama, hobi membaca dari sang ayah juga ikut diwariskan kepada Gus Dur.
Meski tak sekolah macam Hollandsche Inlandsche School (HIS), Kyai Wahid Hasyim mampu menguasai bahasa barat sehingga wawasannya semakin luas.
Pasca lulus SD pada 1953, Gus Dur mengemban amanah dari orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta.
Ia masuk ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gowongan, sekolah formal yang dikelola oleh Gereja Katolik Roma.
Di waktu yang sama, ia juga menetap di Pesantren Krapyak.
Merangkum biografi Gus Dur, pendidikan SMEP inilah Gus Dur pertama kali mendapatkan pelajaran bahasa Inggris.
Baca Juga: Contoh Pendidikan Moral dan Cara Mengajarkannya pada Anak
Tak hanya sebatas memahami buku-buku berbahasa Inggris, Gus Dur juga terus memperkaya kosakatanya dengan menggali informasi mancanegara.
Ia juga rutin mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London.
Gus Dur pun semakin mahir berbahasa Inggris.
Mengetahui hal ini, Sumantri selaku guru SMEP menghadiahkan buku berjudul What is To Be Done.
Tamat dari jenjang SMP, Gus Dur melanjutkan pendidikannya ke pesantren Tegalrejo, Magelang.
Biografi Gus Dur tak pernah lepas dari cerita koleksi-koleksi bukunya yang membuat santri lain keheranan.
Selera humor Gus Dur yang unik juga selalu sukses menghibur para santri di pesantren.
Baca Juga: 17 Rekomendasi Wisata Puncak Bogor untuk Keluarga, Sejuk!
Saat menginjak usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Ia pun menyempatkan berkunjung ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar.
Sayangnya, niat mulia ini harus pupus karena ia harus masuk ke Madrasah Aliyah dulu agar bisa lolos ke Universitas Al-Azhar.
Keinginannya untuk melanjutkan studi ke Eropa juga tak bisa diteruskan akibat persyaratan yang ketat.
Gus Dur harus menguasai bahasa Jerman, Yunani, dan Latin, sedangkan ia tak menguasainya.
Untuk menghilangkan rasa kecewanya, Gus Dur beralih menjadi pelajar keliling yang mengunjungi berbagai universitas.
Dalam biografi Gus Dur, ia akhirnya memutuskan untuk menetap di Belanda selama 6 bulan.
Ia pun mendirikan suatu perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di daratan Eropa.
Perjalanan studinya berakhir pada 1971, tepat saat pendidikan pesantren terus berkembang di tanah air.
Sejak itulah, Gus Dur kembali ke Indonesia dan memulai kehidupan barunya.
Baca Juga: Pengertian Sejarah, Unsur, dan Manfaat Mempelajarinya
Perjalanan Karier Gus Dur
Sejak kepulangannya ke Indonesia, Gus Dur meneruskan kariernya sebagai jurnalis.
Ia menelurkan banyak tulisan untuk media Tempo dan Kompas.
Gaya bahasanya yang ringan membuat artikelnya diterima dengan baik oleh masyarakat.
Bahkan, gagasan dan tulisannya mendapatkan reputasi sebagai komentator sosial.
Sejak itulah, Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk seminar atau kuliah.
Banyak orang yang memintanya berkiprah di Kepengurusan Nahdlatul Ulama.
Sempat menolak di awal, permintaan ini akhirnya ia terima setelah mendapatkan bujukan sang kakek, KH Bisri Syansuri.
Baca Juga: Perjanjian Linggarjati: Isi dan Dampaknya Bagi Indonesia
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.