27 Juli 2019

Butuh Perjuangan untuk Berdamai dengan Preeklampsia

Hamil merupakan anugerah sekaligus momen paling menyenangkan yang dialami oleh setiap perempuan. Namun, bukan berarti tanpa resiko. Seperti kisah saya berikut ini.
Butuh Perjuangan untuk Berdamai dengan Preeklampsia

Nama saya Vicky Yunita (31). Ibu dari 2 orang anak laki-laki, Arsakha Shakeel Tahir (22 bulan) dan Arvino Niscalief Tahir (7 bulan).

Saya adalah seorang perempuan sekaligus ibu yang memiliki riwayat hipertensi dan preeklampsia saat hamil. Kali ini, saya akan menceritakan pengalaman preeklampsia pada kehamilan pada 2017 lalu.

Keracunan kehamilan (preeklampsia dan eklampsia) adalah suatu kondisi yang berpotensi berbahaya dan dapat berkembang dengan sendirinya pada wanita hamil. Keracunan kehamilan terdiri dari tiga tanda, yakni:

- Tekanan darah tinggi (hipertensi)

- Protein urine (proteinuria)

- Pembengkakan cairan dalam tubuh (edema)

Bukan satu atau dua, saya mengalami ketiganya sekaligus.

Baca Juga: 5 Tanda Moms Lebih Cocok Menjadi Wirausahawan Daripada Karyawan

Ternyata Kehamilan Saya Beresiko

Moms vicky3.jpeg
Foto: Moms vicky3.jpeg

Foto: dokumentasi pribadi

Saat masuk bulan ke-7, saya mengalami pembengkakan di beberapa bagian tubuh. Mulai dari jari tangan, wajah, hingga telapak kaki. Sayangnya saya belum menyadari kalau itu gejala preeklampsia karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya.

Menurut saya bengkak itu normal-normal saja untuk ibu hamil dan keluarga juga belum sadar kalau ternyata saya kena Preeklampsia. Lalu, dokter kandungan saya (Dr. Bramundito dari RSPI) mulai curiga dengan kenaikan tekanan darah dan beliau juga melihat telapak kaki saya yang mulai gendut abnormal.

Dokter akhirnya meresepkan obat penurun tensi (dopamet), pengencer darah (oral dan injeksi), anti kontraksi. dan merujuk saya ke dokter jantung serta dokter Hematologi (darah).

Saya nurut saja. Toh ini kali pertama saya hamil dengan resiko. Setelah treatment selama sebulan, dokter kandungan menyuruh saya untuk tes urin di bulan ke-8 dan ternyata hasilnya menyedihkan sekali.

Kandungan protein dalam urin sudah (+3) dan tekanan darah mencapai 170/100. Lalu saya pun, dirujuk kembali ke ruang bersalin untuk dipantau.

Belum selesai sampai di situ. Saya kemudian disuntik pematangan paru sebanyak 3 kali berturut-turut, anti kejang, dan dipasangkan EKG tiap 1 jam. Semalaman itu rasanya seperti tersiksa, belum lagi obat oral yang wajib diminum.

Esok paginya, saya terbangun kesakitan karena wajah saya makin bengkak. Lalu, adik saya melihat selang kateter mulai berubah warna menjadi merah muda, ini tanda situasi sudah gawat.

Perawat lalu bergegas menghubungi dokter kandungan. Dokter kemudian langsung memajukan jadwal operasi lebih awal. Saya pun harus mengakhiri kehamilan di akhir bulan ke-8 dan melahirkan di minggu ke-36.

Baca Juga: 7 Penyakit Pada Wanita yang Menghambat Kehamilan

Perjuangan Masih Terus Berlanjut setelah Melahirkan

Moms Vicky4.jpeg
Foto: Moms Vicky4.jpeg

Foto: dokumentasi pribadi

Saya kira semua sudah beres setelah bayi keluar. Nyatanya, saya masih harus berurusan dengan payudara yang tersumbat dan bengkak. Jadi, selama empat hari pertama, saya minim sekali menyusui bayi.

Belum lagi soal Baby Blues yang ternyata rasanya seperti ingin meledakkan diri.

Saya sudah boleh pulang dengan bayi. Tapi karena selama di rumah sakit saya jarang menyusui, malam itu juga bayi saya mulai kuning. Saya kembali lagi ke RSPI saat subuh karena bayinya harus dirawat dengan fototerapi. Sakit sekali rasanya.

Mungkin nyeri jahitan di perut rasanya tak seberapa, ketimbang menghadapi Baby Blues dan bayi mungil berumur 4 hari ini dirawat.

Tapi syukur Alhamdulillah, saya bisa survive dan berhasil melewati baby blues berkat dukungan dari suami. Dia pun juga pro ASI, mendukung apa pun supaya ASI saya lancar. Sekarang bayi mungil itu sudah berusia 22 bulan, sehat dan aktif.

Tips buat Moms jika mendapati diri terkena Preeklampsia

Moms vicky2.jpeg
Foto: Moms vicky2.jpeg

Tidak semua orang bisa menyadari dirinya mengalami preeklamsia. Saya pun demikian. Agar Moms bisa lebih aware dengan hal tersebut, saya punya beberapa tips untuk dibagikan.

Sedikit tips dari saya, yang pasti Moms harus tahu riwayat penyakit turunan dari keluarga, lalu rutin check up kehamilan per bulan, dan pilih dokter kandungan yang bikin kita nyaman untuk konsultasi.

Jika memang sudah terlanjur mengidap preeklampsia (atau kehamilan berikutnya persentasenya tinggi kena lagi -- saya hamil ke 2 juga Preeklampsia), ikuti segala nasihat dokter, minum obat yang diresepkan.

Oiya, kalau bisa stay with the previous Obgyn ya karena beliau sudah paham riwayat kehamilan kita sebelumnya.

Biasanya Preklampsia itu sudah bawaan, misalkan ada nenek, ibu, tante yang dulunya punya riwayat, kemungkinan besar kita bisa ikutan kena juga.

Jadi kalau sudah tahu kehamilan kita beresiko, siapkan mental baja dan rasa ikhlas menjalaninya. Insya Allah semua ibu itu kuat!

Baca Juga: Waspadai Ciri-ciri Preeklamsia pada Ibu Hamil

Itulah cerika kehamilan saya dengan preeklamsia dan drama lainnya. Setiap ibu tentu mengalami kehamilan yang berbeda satu sama lain. Tapi tentu tidak ada salahnya untuk mempersiapkan segala kemungkinan.

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb