Fakta Menarik Roti Buaya Beserta Sejarah dan Filosofinya
Betawi tidak hanya terkenal kerak telor saja, tetapi juga roti buaya.
Roti buaya sendiri menjadi salah satu seserahan wajib yang ada dalam pernikahan adat Betawi.
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki adat istiadat atau budayanya masing-masing. Salah satunya upaca budaya, ritual ini terkait dengan kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Umumnya terdapat makanan yang disajikan sebagai ciri khas dari upacara tersebut.
Hal ini sama seperti roti buaya. Roti berbentuk buaya bukanlah roti biasa, karena roti ini merupakan “barang wajib” saat upacara pernikahan Betawi.
Biasanya roti berbentuk buaya itu panjangnya sekitar 50 sentimeter, terkadang sampai satu meter dan dibawa oleh pengantin pria pada acara pernikahan.
Selama ini buaya memiliki konotasi yang buruk. Buaya sering merujuk pada sebutan "buaya darat", yaitu simbol tidak setia.
Lantas mengapa roti berbentuk buaya diwajibkan dibawa untuk pernikahan masyarakat Betawi? Daripada salah paham, yuk Moms simak sejarah dan filosofi roti buaya.
Baca Juga: 5 Cara Membuat Roti Tawar Putih dan Gandum, Mudah!
Sejarah Roti Buaya
Roti buaya tidak hanya bentuknya yang menarik, tetapi juga memilik sejarah dan fisolofis yang unik.
Kehadiran roti berbentuk buaya dalam pernikahan adat betawi dipengaruhi oleh datangnya bangsa Eropa ke Indonesia.
Jika orang Eropa menunjukkan cintanya dengan memberi bunga, maka orang Betawi menganggap perlu ada simbol lain untuk menyatakan cinta.
Roti berbentuk buaya dipilih sebagai simbol dari cinta.
Tidak ada yang tahu pasti kapan masyarakat Betawi mulai mengolah roti berbentuk buaya. Namun hal ini dipercaya sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Roti buaya bahkan dijadikan simbol sebuah tradisi masyarakat Betawi.
Melansir jakarta-tourism.go.id, dahulu banyak buaya di 13 sungai yang menyebar di berbagai daerah di Jakarta.
Buaya tersebut dianggap sebagai pelindung suci daerah yang dulunya berawa.
Buaya-buaya siluman oleh masyarakat Betawi dianggap sebagai penunggu sebuah entuk atau sumber mata air.
Pada zaman dahulu apabila ada tindakan anggota atau sekelompok masyarakat yang mengganggu kebersihan dan ketertiban sumber mata air, maka akan diberikan sanksi.
Karena buaya telah setia menunggu sumber mata air sekaligus sumber kehidupan masyarakat Betawi, maka buaya kemudian dianggap sebagai simbol kehidupan.
Masyarakat di sekitar sungai Jakarta memahami pola hidup buaya yang hanya kawin sekali dalam seumur hidupnya.
Hewan buas bergiigi tajam ini tak akan mencari betina lain saat betina pasangannya mati ataupun menghilang.
Sebuah penelitian Rockefeller Wildlife Refuge (RWR) di Louisiana, United States tahun 2008 yang diterbitkan ScienceDaily membuktikan bahwa, buaya jantan tidak mau berpaling ke betina lain, begitu pula sebaliknya.
Sejauh itu, buaya jantan akan selalu melindungi betina yang akan bertelur, dan jantan akan menjaga telur hingga saat bayi menetas.
Maka dari itu dipilih lah buaya sebagai roti untuk upacara pernikahan di Betawi.
Baca Juga: 10 Rekomendasi Hotel di Jogja, Cocok untuk Honeymoon hingga Babymoon!
Filosofi Roti Buaya
Roti buaya konon terinspirasi dari tingkah buaya yang hanya kawin sekali selama hidup mereka, roti tersebut dipercaya mewakili kesetiaan para pasangan yang akan menikah.
Buaya juga merupakan hewan perkasa yang dapat hidup di dua dunia. Artinya simbol buaya digunakan sebagai harapan agar rumah tangga menjadi tangguh dan dapat bertahan hidup dimanapun mereka tinggal.
Roti berbentuk buaya juga memiliki makna sebagai lambang kehandalan, karena dianggap roti merupakan makanan golongan atas.
Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.