Penganut Hustle Culture? Jangan Dulu Bangga, Banyak Dampak Negatifnya untuk Fisik dan Mental!

Sering kerja keras kelewat batas sampai sakit dan stres? Apa yang dicari, sih Moms?
Penganut Hustle Culture? Jangan Dulu Bangga, Banyak Dampak Negatifnya untuk Fisik dan Mental!

Pernah mendengar istilah tentang hustle culture? Jika belum, apakah Moms pernah sering lembur saat bekerja hampir setiap hari?

Atau, apakah Moms hampir tidak memiliki waktu untuk diri sendiri demi mendapatkan uang lembur yang besar atau agar segera naik menjadi supervisor?

Jika iya, tampaknya Moms harus waspada, karena bisa jadi Moms sedang menjalankan hustle culture atau budaya kerja keras untuk mencapai kekayaan tanpa memedulikan kesehatan mental.

Apa itu Hustle Culture?

Apa itu Hustle Culture?
Foto: Apa itu Hustle Culture?

Foto: Orami Photo Stock

Hustle culture kini menjadi fenomena yang banyak menjangkiti anak muda.

Secara sederhana, hustle culture adalah budaya bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melewati batas kemampuan untuk mencapai tujuan kapitalis yakni kekayaan, kemakmuran, dan kesuksesan secepat mungkin.

Bagi kaum muda, karir dianggap sebagai aspek terpenting dalam hidup yang diperoleh melalui kerja keras.

Para penganut hustle culture juga percaya bahwa apa yang ia lakukan tak pernah cukup untuk mencapai kesuksesan.

Di zaman sekarang ini, anak muda kerap menjadi korban dari hustle culture dan hal ini nyatanya cukup lazim.

Mereka mengutamakan produktivitas, pekerjaan, dan penghasilan daripada kesehatan mental, hubungan dengan orang lain, dan kebahagiaan sendiri.

Sayangnya, mereka tidak sepenuhnya sadar bahwa dampak hustle culture juga bisa merugikan bahkan merusak masa depan mereka.

Baca Juga: 7 Pekerjaan Ibu Rumah Tangga yang Bisa Dilakukan dari Rumah Sambil Mengurus Keluarga

Hustle Culture Bahkan Bisa Dibudayakan Sejak Usia Muda

Hustle Culture Bahkan Bisa Dibudayakan Sejak Usia Muda
Foto: Hustle Culture Bahkan Bisa Dibudayakan Sejak Usia Muda

Foto: Orami Photo Stock

Fenomena hustle culture cukup umum terjadi, dan ini tidak hanya dirasakan oleh pekerja saja.

Namun, budaya ini bisa bermula saat seseorang masih menjadi mahasiswa atau bahkan siswa sekolah.

Jika Moms ingat, mungkin ada satu atau dua teman semasa SMA yang mengikuti banyak ekstrakulikuler dan ikut banyak organisasi.

Di luar itu, orang tua juga meminta mereka untuk ikut bimbingan belajar, les bahasa asing, dan semacamnya. Jadi bisa dikatakan, mereka memiliki jadwal yang sangat sibuk.

Sementara mahasiswa, umumnya mereka ikut banyak organisasi kampus atau ekstrakulikuler.

Kemudian pada semester akhir, mereka melakukan magang sambil tetap bekerja keras untuk menyelesaikan studi mereka di kampus.

Umumnya, siswa atau mahasiswa yang ikut banyak kegiatan dan organisasi biasanya melakukan hustle culture untuk memperluas jaringan mereka, memperkaya pengalaman, dan menambah pengetahuan mereka demi kesuksesan di masa depan.

Hal itu penting, tetapi sebenarnya mereka lupa bahwa masa-masa sekolah tidak akan terulang lagi.

Sehingga alangkah lebih baik jika mereka juga tetap menikmati masa-masa muda mereka untuk mencari teman dan menikmati hidup tanpa banyak tanggung jawab seperti orang dewasa.

Baca Juga: 7 Pekerjaan dengan Tingkat Stres Tertinggi di Dunia

Penyebab Hustle Culture

Penyebab Hustle Culture
Foto: Penyebab Hustle Culture

Foto: Orami Photo Stock

Hustle culture tidak muncul begitu saja di tengah masyarakat. Ada banyak faktor yang menyebabkan kebiasaan atau gaya hidup semacam ini muncul di tengah-tengah masyarakat terutama kaum muda.

Berikut ini beberapa penyebab dari hustle culture, yaitu:

1. Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi adalah salah satu penyebab hustle culture menyebar dengan cepat.

Smartphone yang Moms miliki kini tidak hanya berfungsi untuk berkomunikasi, melainkan sarana untuk bekerja juga.

Moms bisa dengan mudah mengirim dan membalas e-mail, menyusun presentasi, melakukan video call dengan atasan atau klien, hingga mengadakan diskusi antar tim.

Semuanya bisa Moms lakukan lewat genggaman, kapan saja dan di mana saja. Namun tanpa disadari, deretan aplikasi ini juga bisa membuat seseorang bekerja terus menerus.

Kemudahan dalam menjalankan urusan kantor ini mendorong generasi muda untuk bekerja sepanjang waktu tanpa memedulikan kesejahteraan dirinya sendiri.

Baca Juga: Ini Tandanya Kalau Moms Sudah Perlu Pekerjaan Tambahan

2. Konstruksi Sosial

Tak bisa dimungkiri bahwa masih banyak orang yang menilai bahwa tolak ukur kesuksesan hidup seseorang adalah jabatan dan kondisi finansial yang baik.

Semakin cepat dan tinggi karier seseorang, maka hidupnya disebut semakin mapan dan mereka semakin dipandang oleh masyarakat.

Jadi, siapa yang berhasil membeli aset di usia muda, maka ia akan menjadi patokan bagi orang-orang di sekelilingnya.

Alhasil, banyak kaum muda yang terpacu untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli rumah, kendaraan, atau sekedar meningkatkan taraf hidup.

Meskipun tujuannya baik, hal ini tidak selamanya benar. Hustle culture ini malah memaksa seseorang untuk bekerja tidak mengenal lelah hanya demi bisa dipandang sukses oleh lingkungan sekitar.

3. Toxic Positivity

Toxic positivity bisa diartikan sebagai dorongan untuk tetap berasumsi positif meski sedang mengalami situasi tertekan.

Asumsi ini biasanya hadir dari dalam hati atau perkataan orang di sekitar.

Jadi, sering kali saat Moms merasa lelah karena pekerjaan yang menumpuk, Moms bukannya berhenti tetapi malah muncul kalimat seperti, “Jangan menyerah, kamu pasti bisa. Ayo kerja lagi!”

Ada juga, kalimat yang lebih menohok seperti “Masa gitu aja capek? Kapan suksesnya?” Toxic positivity ini juga tidak bisa dimungkiri semakin berkembang selama pandemi COVID-19.

Di masa ekonomi yang penuh tantangan ini, banyak orang yang bekerja lebih giat. Namun, tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengalami stres, tetapi enggan meluapkan emosinya.

Akibat toxic positivity, mereka dipaksa untuk tetap tegar dalam situasi tersulit sekalipun. Pada akhirnya, kesehatan mental jadi korbannya.

Baca Juga: Mengenal Toxic Positivity yang Buruk Bagi Kesehatan Mental

Dampak Hustle Culture

Dampak Hustle Culture
Foto: Dampak Hustle Culture

Foto: Orami Photo Stock

Dengan semakin banyaknya orang yang bercita-cita untuk menjadi sukses, kerja keras dan berlebihan menjadi sangat diagungkan, terutama di media sosial.

Tokoh-tokoh seperti Elon Musk yang membagikan bagaimana ia menjadi jutawan mandiri semakin mengembangkan pola pikir di masyarakat di mana anak muda harus bekerja keras tanpa henti untuk menjadi orang yang sukses.

Padahal, tidak selamanya bekerja keras adalah hal yang baik, apalagi jika tidak diimbangi dengan kesehatan mental dan kebahagiaan pribadi.

Mengadopsi budaya hustle culture ini bisa menghasilkan daya saing yang beracun dan dampak buruk lainnya.

Berikut ini beberapa dampak hustle culture pada berbagai aspek kehidupan:

1. Meningkatkan Risiko Penyakit

Penelitian tahun 2018 yang dipublikasikan di Current Cardiology Reports menemukan fakta bahwa mereka yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu ditemukan memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti infark miokard (serangan jantung) dan penyakit jantung koroner.

Jam kerja yang panjang ini bisa menyebabkan peningkatan tekanan darah dan detak jantung karena aktivasi psikologis yang berlebihan dan stres.

Kerja lembur juga berkontribusi terhadap resistensi insulin, aritmia, hiperkoagulasi, dan iskemia di antara individu yang sudah memiliki beban aterosklerotik tinggi, diabetes, bahkan stroke.

2. Meningkatkan Gangguan Kesejahteraan Mental

Bekerja keras tanpa istirahat dalam hustle culture juga bisa meningkatkan risiko gangguan pada kesehatan mental.

Beberapa masalah yang sering dialami adalah gejala depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri.

Dengan memaksa diri untuk terus mencapai kesuksesan, ini membuat tubuh semakin lelah dan stres.

Saat stres terus-menerus terjadi, maka ini melepaskan hormon stres (kortisol) dalam jumlah yang lebih tinggi dan untuk periode yang lebih lama.

Untuk menormalkan kadar kortisol yang meningkat ini, cara sederhananya adalah dengan istirahat.

Namun, hustle culture tidak memberikan waktu untuk istirahat, sehingga kelelahan mental tidak bisa dihindari.

Stres terus-menerus dapat membahayakan kesehatan mental dan fisik.

Baca Juga: 5 Hal yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Istirahat dari Pekerjaan

3. Kehilangan Work Life Balance

Work Life Balance adalah kondisi yang seimbangan antara karir dan kehidupan pribadi.

Stres akibat pekerjaan bisa seketika hilang setelah Moms menghabiskan waktu bersama keluarga, pasangan, maupun teman.

Sosialisasi sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan yang didapat dengan menyeimbangkan pekerjaan.

Selain itu, kehidupan pribadi bisa membantu meningkatkan kreativitas dan menghasilkan energi positif.

Jadi, bekerja keras itu baik, tapi jangan sampai kita terbelenggu ke dalam budaya hustle culture. Semoga keseimbangan hidup Moms tetap terjaga dengan baik, ya!

  • https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6267375/
  • https://www.nytimes.com/2019/01/26/business/against-hustle-culture-rise-and-grind-tgim.html
  • https://youthopia.sg/read/why-hustle-culture-was-toxic-for-my-mental-health/
  • https://blog.skillacademy.com/mengenal-hustle-culture-ciri-ciri-penyebab-dan-bahayanya

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb