01 November 2023

12+ Puisi Hari Pahlawan Karya Penyair Terkenal, Penuh Makna

Mulai dari karya Chairil Anwar hingga Gus Mus
12+ Puisi Hari Pahlawan Karya Penyair Terkenal, Penuh Makna

Foto: Freepik

Hari Pahlawan Nasional diperingati setiap tahunnya pada tanggal 10 November. Peringatan ini bertepatan dengan perjuangan rakyat Surabaya pada 10 November 1945 silam.

Biasanya, Hari Pahlawan dirayakan dengan menggunakan twibbon, mengucapkan Hari Pahlawan, hingga membaca puisi dari tokoh-tokoh ternama, salah satunya Chairil Anwar.

Lantas, puisi seperti apa, ya, yang bisa Moms baca dan resapi di Hari Pahlawan ini untuk mengenang jasa para pahwalan atas kontribusinya pada Indonesia?

Yuk, simak puisinya di bawah ini, ya!

Baca Juga: 25+ Nama Pahlawan Nasional Indonesia dan Kisah Perjuangannya

Puisi Hari Pahlawan

Mana puisi Hari Pahlawan yang menjadi favorit Moms?

1. Penyelamat Ibu Pertiwi (Agung Dwi Prasetyo)

Hari Pahlawan (Orami Photo Stocks)
Foto: Hari Pahlawan (Orami Photo Stocks)

Seperti hujan yang turun membasahi bumi
Menjadikan tanah kering menjadi subur
Seperti itulah para pahlawan
Menjadikan negara ini merdeka dari pejajahan

Tak terukur perjuangan yang kau lakukan
Tak terhitung berapa banyak darah yang tertumpah
Demi tercapainya kemerdekaan
Demi mengusir para penjajah yang serakah

Usai sudah kini perjuanganmu
Tinggalah kami di sini yang menikmati
Hasil jerih payah engkau dahulu
Terimakasih para pahlawanku

2. Dipenogoro (Chairil Anwar)

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
inasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Februari 1943

Baca Juga: 9 Ide Baju Pahlawan Indonesia Si Kecil, Langsung Check Out!

3. Maju Tak Gentar (Gus Mus)

Maju tak gentar
Membela yang mungkar
Maju tak gentar
Hak orang diserang

Maju tak gentar
Pasti kita menang!

4. Penjajah Harus Pergi dari Indonesia (Mochamad Hayyu Al Fatha)

Penjajah itu sudah merusak persatuan
Persatuan bangsa Indonesia
Karena mereka telah membunuh pahlawanku
Mereka juga telah menyengsarakan rakyat Indonesia

Maka dari itu kita harus melawan para penjajah
Demi Indonesia merdeka kita harus bersatu
Agar bangsa Indonesia bisa tetap harmonis
Dan bersatu agar bangsa Indonesia
Menjadi bangsa yang makmur

5. Sebuah Jaket Berlumur Darah (Taufik Ismail)

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan!

Baca Juga: Biografi Frans Kaisiepo dan Perannya dalam Kemerdekaan RI

6. Derai-derai Cemara (Chairil Anwar)

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

7. Gugur (W.S. Rendra)

Poster Hari Pahlawan
Foto: Poster Hari Pahlawan (Freepik.com/yusufsangdes)

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya

Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya

Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya,

Ia berkata:
”Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.

Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”

Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:

“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur

Kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

Baca Juga: Perjanjian Roem Royen: Latar Belakang dan Isi Perjanjiannya

8. Lagu Seorang Geriliya (W.S. Rendra)

Engkau melayang jauh, kekasihku
Engkau mandi cahaya matahari

Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
Engkau berkudung selendang katun di kepalamu

Engkau menjadi suatu keindahan

Sementara dari jauh
Resimen tank penindas terdengar menderu
Malam bermandi cahaya matahari
Kehijauan menyelimuti medan perang yang membara

Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku
Engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis
Dan darah muncrat dari dadaku
Maka di saat seperti itu
Kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
Bersama kakek-kakekku yang telah gugur
Di dalam berjuang membela rakyat jelata

9. Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang (W.S. Rendra)

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

1960

Jangan anggap mereka kalapJika mereka terjang senjata sekutu lengkapJangan dikira mereka...

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb