Anak Diperkosa saat Dititipkan di P2TP2A, Ini 5 Alasan RUU-PKS Mesti Disahkan
Seorang anak perempuan berusia 14 tahun berinisial NF diduga menjadi korban pemerkosaan oleh Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur.
Diketahui bahwa korban dititipkan di P2TP2A oleh sang ayah, Sugiyanto, untuk mencari perlindungan dan pendampingan karena NF sebelumnya pernah menjadi korban pemerkosaan oleh orang tak bertanggung jawab. Mendapati bahwa anaknya malah menjadi korban pemerkosaan oleh Kepala UPT berinisial DA, Sugianto tak terima.
Baca Juga: Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga, Pemerintah Dianggap Urusi Ranah Privat
Kronologi Kejadian
NF mengungkapkan, selama berada di rumah aman P2TP2A NF tak hanya diperkosa oleh DA. Pelaku bahkan memaksa NF untuk melayani pria lain.
Diketahui pria tersebut adalah seorang pegawai rumah sakit, dan peristiwa itu terjadi di sebuah hotel. Selanjutnya, pria tersebut memberikan uang sebesar Rp 700 ribu kepada NF. Dari uang tersebut pelaku DA meminta uang RP 200 ribu dan sisa uang Rp 500 ribu diberikan pada NF.
Selama berada di rumah aman P2TP2A, NF mengaku hanya bisa pasrah dan ketakutan karena mendapat ancaman akan disakiti oleh DA jika tak menuruti keinginannya.
Selain NF diduga ada dua anak perempuan lainnya yang juga menjadi korban pemerkosaan oleh DA. Meski begitu, hingga kini kedua korban masih belum membuat laporan karena merasa tertekan.
Kasus pemerkosaan NF di P2TP2A ini terungkap setelah NF berhasil kabur dan mengadukan kejadian tersebut ke pamannya.
NF mengaku tak berani bercerita kepada sang ayah karena takut dimarahi. Tak hanya mendapat perlakuan yang keji, korban juga tertekan karena diancam oleh pelaku.
Mengetahui hal itu, Sugiyono langsung melaporkan hal ini ke polisi dan berharap kasus ini segera diusut dan pelaku mendapat hukuman setimpal.
Baca Juga: Curahan Hati Ibu yang Bayinya Meninggal Diperkosa, Hati-hati Memilih Pengasuh!
Alasan RUU-PKS Harus Segera Disahkan
Berkaca dari nasib tragis yang harus dialami oleh NF, menjadi salah satu faktor utama mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) harus segera disahkan.
Sejak awal dibuatnya RUU-PKS pada tahun 2019, undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak korban kekerasan yang selama ini kerap diabaikan.
Menurut Mariana Amiruddin, Komisioner-Ketua Subkom Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, RUU-PKS adalah tonggak keadilan dan akan memberikan proses hukum yang adil bagi kasus kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, setidaknya ada lima hal yang jadi alasan mengapa RUU-PKS harus segera disahkan.
1. Meningkatnya Angka Kekerasan Terhadap Perempuan
Foto: Orami Photo Stocks
Data dari Komnas Perempuan menyebut bahwa laporan kekerasan seksual pada perempuan di tahun 2017 mencapai 335.062 kasus.
Data tersebut naik signifikan dari laporan jumlah kasus kekerasan seksual di tahun 2016 yang berjumlah 259.150 kasus.
Bahkan, menurut data pada tahun 2012-2013 Komnas Perempuan mencatat bahwa setiap dua jam, ada tiga perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Indonesia.
Sementara itu, dalam kurun waktu 10 tahun, tercatat ada 15 bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan.
Beberapa kasus bisa ditangani dengan mengedukasi masyarakat tanpa jalur hukum, namun sebagian kasus lainnya membutuhkan pendekatan hukum.
Menurut Azriana, Ketua Komnas Perempuan, pendekatan hukum penting selain untuk memberikan efek jera terhadap pelaku, juga memberikan rasa aman dan pemulihan yang baik bagi korban.
2. Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Sering Merugikan Korban
Foto: Orami Photo Stocks
Masih ingat kasus Agni (nama samaran)? Seorang mahasiswa UGM yang mengalami pelecehan seksual ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada Juli 2017.
Kasus tersebut berakhir damai dan diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini dilakukan sebab banyaknya rintangan dan kesulitan yang harus dihadapi korban saat ingin membawa kasus tersebut ke jalur hukum.
Dalam RUU-PKS akan ada penanganan yang membantu korban untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi ketika menjalani peradilan pidana sekaligus mendampingi pemulihan korban selama proses peradilan berlangsung.
Kasus berbeda terjadi pada Baiq Nuril, ia malah dipenjara dan dijerat UU ITE karena menyebarluaskan konten elektronik yang berisi percakapan asusila antara Kepala Sekolah SMAN 7, Muslim, dengan Baiq Nuril yang berisi konten pornografi.
Padahal, Baiq menyimpan dan menyebarluaskan rekaman itu karena ia mengalami pelecehan seksual dari kepala sekolahnya.
Azriana mengungkapkan, apa yang dialami oleh Baiq Nuril menggambarkan bahwa sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan.
Baca Juga: Mengalami Pelecehan Seksual di Kantor? Atasi dengan 4 Cara Ini
3. Tidak Ada Aturan Hukum terhadap Beberapa Bentuk Kekerasan Seksual
Foto: Orami Photo Stocks
Setidaknya ada sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang terlampir dalam RUU-PKS. Beberapa di antaranya ialah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, memaksa menggunakan kontrasepsi, memaksa aborsi, pemerkosaan, memaksa perkawinan, memaksa pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Dalam risalah RUU-PKS oleh Komnas Perempuan, menyebut bahwa tidak ada aturan yang jelas terkait sembilan tindak pidana tersebut dalam UUD 1945.
Sehingga, hal ini mempersempit akses hak atas keadilan dan hak atas penanganan pada korban.
Hal ini mengakibatkan sembilan kasus tersebut tidak bisa diproses melalui sistem peradilan pidana.
Selain itu, hal ini juga menyebabkan tidak adanya pemidanaan dan penindakkan terhadap pelaku yang mana akan malah membuka kesempatan pelaku untuk bebas melakukan kekerasan seksual tanpa jeratan hukum yang jelas.
Selain itu, tanpa adanya aturan hukum tersebut, korban tidak bisa mendapatkan pemulihan atas hak-haknya yang hilang dan dirugikan akibat kekerasan seksual.
Azriana menyampaikan bahwa isu kekerasan seksual tak memiliki payung hukum.
Dengan RUU-PKS, diharapkan negara bisa lebih adil dalam memberikan keadilan dan proses hukum pada korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Ini 6 Kelainan Perilaku Seksual yang Mungkin Belum Kita Tahu
4. Korban dan Keluarga Mendapat Dukungan Pemulihan
Foto: Orami Photo Stocks
Pada RUU-PKS, Komnas Perempuan mengusulkan adanya payung hukum bagi korban pasca mengalami kekerasan seksual.
Sebab, kekerasan seksual tak hanya berdampak buruk secara fisik namun juga psikis, sehingga perlu adanya pendampingan lebih lanjut.
Selain itu, keluarga korban juga turut mendapatkan pendampingan, mengingat trauma berkepanjangan tak hanya dirasakan oleh korban namun juga keluarga.
5. Pelaku Berusia di Bawah 14 Tahun Mendapat Akses Rehabilitasi
Foto: Orami Photo Stocks
Selain aturan menyangkut korban kekerasan seksual, RUU-PKS juga mengusulkan adanya peraturan terkait akses rehabilitasi yang kepada pelaku pelecehan seksual non-fisik yang dan berusia di bawah 14 tahun.
Sebab, di usia tersebut, anak masih mampu diubah pola pikir dan sikapnya agar tidak mengulangi perbuatan yang sama di masa depan
Itulah lima hal yang jadi alasan agar RUU-PKS segera disahkan.
Jika Moms atau anggota keluarga lainnya mengalami pelecehan dan kekerasan seksual jangan ragu untuk melaporkan hal tersebut kepada polisi atau hubungi hotline Komnas Perempuan di nomor +62-21-3903963.
Baca Juga: Medina Zein Selesai Rehabilitasi dan Fokus pada Kesehatan Mental
Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan
Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.