02 April 2022

Hari Autisme Sedunia, Bantu Si Kecil Maksimalkan Potensinya

Potensi diri yang maksimal dapat membantu anak autisme lebih berdaya
Hari Autisme Sedunia, Bantu Si Kecil Maksimalkan Potensinya

Hari Autisme Sedunia (World Autism Awareness Day) diperingati setiap tanggal 2 April setiap tahunnya.

Hari perayaan ini selalu mengusung tema yang sangat unik dan menarik.

Tahun 2022, Hari Autisme Sedunia mengusung tema: "Reaching Full Potential".

Melalui tema ini, berharap mengajak seluruh dunia bersama-sama mendukung anak autisme untuk bisa menggali potensinya.

Bila potensinya sudah tergali, anak autis bisa menghasilkan karya yang tak kalah atau bahkan lebih hebat seperti anak lainnya.

Persoalan mengenai autisme selalu mendapatkan perhatian di dunia sebagai salah satu masalah kesehatan.

Bahkan PBB juga menghimbau agar semua negara untuk mengambil langkah tepat dalam meningkatkan kesadaran akan autisme di kalangan masyarakat.

Sebab, prevalensi autisme di dunia semakin lama semakin meningkat.

World_Autism_Day-Info-1 bener
Foto: World_Autism_Day-Info-1 bener

Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah di balik Hari Autisme Sedunia tersebut? Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Tampak Serupa, Kenali Beda Anak Speech Delay dan Autis, Moms!

Sejarah dan Filosofi Hari Autisme Sedunia

autism-report-title-image_tcm7-212683.jpg
Foto: autism-report-title-image_tcm7-212683.jpg

Foto: Orami Photo Stock

Peringatan Hari Autisme Sedunia (World Autism Awareness Day) ditetapkan pada 18 Desember 2007.

Penetapan ini berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB “62/139 yang diinisiasi di Sidang Majelis Umum PBB ke-62 oleh perwakilan negara Qatar.

Resolusi tersebut didukung oleh semua negara anggota PBB sebagai salah satu bentuk untuk mendukung Hak Asasi Manusia.

Usulan tersebut dibuat karena banyak sekali orang penyandang autisme yang mengalami hinaan serta dikucilkan.

Pada dasarnya, autisme bukanlah sebuah penyakit yang menular melainkan kondisi seseorang yang mengalami keterlambatan pada proses perkembangannya.

Para penyandang autisme sebenarnya memiliki IQ sama, bahkan bisa lebih di atas rata-rata anak pada umumnya.

Namun, hal ini terkendala pada sistem sensorik yang membuat mereka sensitif terhadap rangsangan dari luar.

Farraas A. Muhdiar, M.Sc., M.Psi., psikolog anak mengatakan, anak bisa didiagnosis autisme karena fokus masalahnya ada pada interaksi sosial dan minat yang repetitif.

“Biasanya kelihatannya kalau bersosialisasi kesannya tidak tertarik sama sekali atau kalau yang gejalanya ringan, bisa bersosialisasi tapi terasa janggal.” jelasnya.

Dari kebiasaan ini, maka timbul pengasingan dari lingkungan sekitar. Banyak orang yang menganggap autisme merupakan suatu gangguan sehingga mereka akan menghindarinya.

Padahal, para penyandang autisme berhak melangsungkan hidupnya dengan baik dan tidak mendapatkan perlakuan berbeda.

Peringatan Hari Autisme Sedunia sudah berlangsung kurang dari 14 tahun dan telah berhasil mencapai beberapa hal, di antaranya seperti:

  • Menggalang dana jutaan yang dijadikan untuk aman
  • Mengubah pandangan terhadap para penyandang autisme
  • Membangun kesadaran akan sebuah kondisi yang rentang spektrum yang akan berdampak pada kehidupan seluruh dunia

Baca Juga: 3 Cara Menangani Anak ADHD, Moms Perlu Tahu!

Apa Itu Autisme?

autisme
Foto: autisme (Lemonde.fr)

Foto: Orami Photo Stock

Sebelum membahas tentang potensi diri anak autisme, ada baiknya kita memahami kembali apa itu autisme demi menyambut Hari Autisme Sedunia tahun ini.

Dikutip dari Autism Speaks, autisme atau gangguan spektrum autisme (ASD), mengacu pada berbagai kondisi yang ditandai dengan adanya masalah pada:

Autisme merupakan gangguan perkembangan seumur hidup yang kompleks. Biasanya muncul selama masa kanak-kanak awal.

Tidak hanya satu gangguan saja, autisme terdiri dari berbagai subtipe yang biasanya dipengaruhi oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan.

Mengingat autisme termasuk dalam gangguan spektrum, maka setiap anak yang didiagnosis autisme memiliki gejala yang berbeda.

Jadi, cara belajar, berpikir dan memecahkan masalah dari masing-masing penyandang autisme dapat berkisar dari sangat terampil hingga sangat sulit.

Karena kondisi yang berbeda itulah membuat anak-anak autisme perlu terapi rutin agar bisa hidup dengan baik.

Sementara yang lainnya, mungkin hanya memerlukan lebih sedikit terapi atau bahkan dapat hidup secara mandiri sepenuhnya.

Menurut National Autistic Society, berbagai bukti dari penelitian telah menunjukkan autisme mungkin disebabkan oleh genetik.

Para ilmuwan telah berusaha untuk mengidentifikasi gen mana yang mungkin terlibat dalam autisme selama beberapa tahun.

Hasilnya, autisme cenderung disebabkan oleh banyak gen, tidak hanya satu gen spesifik saja.

Gangguan ini dapat terjadi pada siapa saja, Moms dan umumnya tanda-tanda autisme akan muncul pada usia 2-3 tahun.

Akan tetapi, tanda juga bisa muncul lebih awal saat Si Kecil berusia 18 bulan.

Baca Juga: Kenali Gejala Apraksia, Gangguan Bicara Pada Anak

Tanda-Tanda Anak Autisme

gejala autisme
Foto: gejala autisme (Orami Photo Stocks)

Foto: Orami Photo Stock

Berdasarkan informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang secara normal.

Namun, sebelum mencapai umur 3 tahun perkembangannya terhenti. Kemudian, timbul kemunduran tumbuh kembang secara bertahap.

Beberapa tanda anak mengalami autisme, yakni:

  • Gangguan komunikasi verbal maupun non-verbal (terlambat bicara atau tidak banyak meniru)
  • Gangguan dalam interaksi sosial (tidak menoleh saat dipanggil, menjauh jika diajak main, dan justru asyik main sendiri)
  • Gangguan dalam berperilaku (terlihat adanya perilaku yang berlebihan atau kekurangan secara motorik)
  • Gangguan dalam emosi (kurangnya rasa empati, tertawa sendiri, sering mengamuk)
  • Gangguan dalam persepsi sensoris (mencium atau menjilat benda apa saja, tidak menyukai tekstur/rabaan, bila mendengar suara keras langsung menutup telinga)

Untuk mendiagnosis apakah seorang anak menderita Autism Spectrum Disorders (ASDs) memang bukan pekerjaan mudah.

Deteksi dini lewat observasi umumnya bisa dilakukan di usia 18 bulan atau bahkan lebih muda lagi.

Tapi, diagnosis yang dilakukan oleh seorang profesional di usia anak sekitar 2 tahun sebetulnya sudah bisa memberikan hasil meyakinkan.

Sayangnya, banyak anak tidak memperoleh diagnosis final itu sampai mereka sudah terlalu besar.

Akibatnya, anak melewatkan usia keemasannya, yaitu usia terbaik sebelum anak mencapai 5 tahun, untuk mendapatkan terapi yang dibutuhkan.

Baca Juga: Hari Down Syndrome Sedunia, Menciptakan Dunia Inklusif bagi Anak Sindrom Down

Deteksi dan Diagnosis Anak Autisme

World_Autism_Day-Testimoni-1
Foto: World_Autism_Day-Testimoni-1

Meskipun kesadaran publik terhadap gangguan ini sudah lebih besar, penyebab dan obat yang dapat mengatasi autisme pada anak belum diketahui secara pasti.

dr. Andina Chrisnawati Rahardjo, Sp.A, Dokter Anak di RS EMC Alam Sutera, mengatakan autisme sebenarnya bisa terdeteksi sejak dini.

Secara medis, ada beberapa tools yang bisa digunakan untuk medeteksi anak autisme, yaitu:

  • Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

KIA adalah buku yang dimiliki ibu sejak masa kehamilan.

Melalui buku ini, kesehatan ibu selama masa kehamilan, bayi lahir, hingga tumbuh kembangnya akan terekam setiap bulan secara detail.

  • Checklist for Autism in Toddlers (CHAT)

Salah satu alat skrining untuk deteksi dini gangguan spektrum autistik (austistic spectrum disorder) anak umur 18 bulan sampai 3 tahun.

"Dari tools di atas, dokter anak melihat ada tidak tanda anak mengarah pada autisme. Sehingga deteksi dini memungkinkan interpreventsinya lebih cepat dan tepat." ucap dr. Andina.

Namun, dalam tahap mendeteksi anak autisme memang butuh waktu yang cukup panjang.

Sebuah penelitian Review Journal of Autism and Developmental Disorders, menunjukkan bahwa tanda-tanda autisme pada perempuan dan laki-laki tidak sama.

Perilaku anak perempuan penyandang autisme dinilai terkesan seperti perilaku yang normal.

Karenanya, mendeteksi anak mengalami autisme butuh waktu yang panjang untuk mengetahui secara akurat

Namun, sebagai orang tua ada beberapa hal yang bisa dilakukan sambil menunggu hasil tes anak, seperti:

1. Pilih Informasi

Di media sosial berbagai informasi tentang autisme mudah dicari.

Mulai dari komentar, tanggapan, hingga mitos tentang berbagai terapi untuk anak autisme pun ada.

Namun, Moms juga harus tahu bahwa semua informasi belum tentu benar dan disarankan untuk dipikirkan dengan matang-matang.

Dengan begitu Moms terhindar dari self diagnosis tentang kondisi anak sebelum hasil tes keluar.

2. Dokumentasikan

Autisme mencakup segala gangguan dalam cara anak berinteraksi, bersosialisasi, berbahasa, berpikir, berekspresi, dan berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal.

Autisme juga dapat membuat seorang anak mengalami gangguan dalam berperilaku.

Jika Moms merasa perilaku anak ada yang aneh, segeralah dokumentasikan.

Nantinya dokumentasi tersebut diberikan kepada dokter untuk memudahkan mendiagnosis anak mengalami autisme.

Baca Juga: 3 Kelainan Tulang Penyebab Bayi Sulit Belajar Duduk Tegak

3. Beri Perlakuan yang Sama

Jangan pisahkan anak dengan identifikasi autisme dengan kakak atau adiknya yang tidak mengalami gangguan.

Hal ini membuat anak akan merasa tidak diperdulikan, dibedakan, bahkan tidak disayang.

Berikanlah perlakuan yang sama, tak perlu terlalu dibeda-bedakan.

Ajak kakak atau adik untuk ikut mendukung dan mengurus anggota keluarga dengan identifikasi autisme.

Seperti yang dilakukan oleh Moms Patricia Vicka, Mompreneur & Influencer, Moms dari Mikael Juniarka.

"Sebagai orang tua, saya tidak pernah membeda-bedakan Arka dengan anak lainnya, bahkan dia masuk ke PAUD umum seperti anak lainnya," katanya.

Ketika berkumpul bersama keluarga pun, kondisi anaknya yang mengalami autisme tidak ditutup-tutupi.

"Jadi, ajak keluarga dan orang di sekitarnya juga untuk membantu meredam 'keanehan'nya. Kita usaha bersama untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk tumbuh seperti anak normal lainnya," tambahnya.

4. Berpikir Positif

Moms harus percaya adanya pengobatan dan berbagai terapi akan membantu anak lebih berkembang tergantung tingkat keparahan autisme.

Anak dengan identifikasi autisme juga memiliki potensi dan kecerdasan yang berbeda-beda.

Jika anak terdeteksi austime, Si Kecil disarankan menjalani terapi yang dapat menolong mereka menguasai berbagai keterampilan dasar dan memperbaiki kualitas hidupnya.

Menurut Moms Patricia Vicka, menyarakan bahwa sebagai orang tua dengan anak yang didiagnosis autisme harus tetap semangat.

"Jangan denial, terima saja kondisi anak kita, kita terima juga dengan lingkungannya. Kita harus yakin kalau anak bisa hidup berdampingan dengan orang-orang sekitar," sarannya.

Baca Juga: 5 Tips Jitu Mendidik Anak dengan Gangguan ODD

Jenis-Jenis Terapi untuk Anak Autisme

terapi-anak-autis.jpg
Foto: terapi-anak-autis.jpg

Foto: Orami Photo Stock

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, autisme merupakan kondisi 'spektrum' yang memengaruhi orang yang berbeda dengan cara yang berbeda.

Oleh sebab itu, sangat sulit untuk menggeneralisasi tentang bagaimana orang autis akan berkembang dari waktu ke waktu.

Setiap kondisi autis yang berbeda itulah, menyebabkan intervensi atau strategi penanggulangan yang tidak sama.

Jadi, perawatan yang bekerja dengan baik pada satu anak autis bisa saja tidak sesuai atau efektif dengan pasien autis lainnya.

American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan setiap orang tua untuk segera melakukan terapi ketika anaknya dicurigai mengalami autisme.

Hal ini karena diperlukan banyak waktu, tes, dan tindak lanjut dengan spesialis untuk mendapatkan diagnosis autisme.

Di Hari Autisme Sedunia yang spesial ini, yuk, Moms cari tahu apa saja terapi untuk anak-anak autisme!

Secara umum, ada beberapa jenis terapi autisme yang bisa dilakukan oleh anak autisme untuk membantu tumbuh kembangnya, di antaranya:

1. Terapi Fisik

Terapi fisik dapat membantu anak dengan gangguan autisme untuk mengontrol tindakan mereka.

Hal ini karena anak autis mungkin mereka mungkin memiliki gaya berjalan yang tidak biasa atau masalah dengan tulisan tangan.

Melalui terapi fisik, anak autisme dapat membangun keterampilan motorik mereka.

Biasanya, jenis terapi ini akan berfokus pada postur, koordinasi, keseimbangan, dan kontrol otot sehingga dapat meningkatkan kehidupan sosial dan rasa sejahtera anak.

2. Terapi Wicara

Jenis terapi lain yang bisa membantu anak-anak autisme agar dapat hidup lebih baik, yakni terapi wicara.

Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan verbal dan non-verbal anak autisme.

Seorang terapis biasanya akan mengajari anak Moms melalui latihan yang melibatkan menggambarkan perasaan dan mengidentifikasi item serta orang.

Dilansir dari laman Help Guide, terapi wicara juga dapat melibatkan latihan lain, seperti belajar meningkatkan ritme bicara, struktur kalimat, dan kosa kata.

Misalnya, selama proses terapi, anak akan diajarkan bertepuk tangan saat mereka berbicara untuk memperhatikan jumlah dan kecepatan suku kata.

Sementara dalam keterampilan non-verbal, anak akan tentang bahasa isyarat, isyarat tangan, kontak mata atau komunikasi melalui gambar.

3. Terapi Okupasi

Terapi okupasi adalah jenis perawatan pada anak autisme yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kehidupan sehari-hari mereka.

Jadi, proses terapi anak autis yang satu ini biasanya melibatkan interaksi sosial, perilaku, dan kinerja kelas.

Seorang terapis akan melihat apakah anak autis yang menjadi pasien mereka telah memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu sesuai dengan usianya.

Jika anak-anak belum mencapai perkembangan sesuai dengan usianya, terapis akan mengajarkan mereka untuk berinteraksi, keterampilan bermain, respon terhadap rangsangan, dan lainnya.

4. Terapi Perilaku dan Komunikasi

Melansir Mayo Clinic, terapi perilaku dan komunikasi dapat membantu anak untuk mengatasi berbagai kesulitan sosial, bahasa dan perilaku yang terkait dengan gangguan spektrum autisme.

Terapi ini berfokus pada pengurangan perilaku bermasalah dan mengajarkan keterampilan baru pada anak-anak dengan gangguan autisme.

Selain itu, terapi perilaku dan komunikasi juga berfokus pada mengajarkan anak-anak bagaimana caranya untuk bertindak dalam situasi sosial atau berkomunikasi lebih baik dengan orang lain.

Jadi, mereka dapat menjalankan hidup dengan lebih baik layaknya anak normal.

5. Terapi Sensori

Beberapa anak dengan gangguan autisme mengalami gangguan sensorik. Misalnya, terlalu sensitif terhadap rangsangan seperti cahaya, suara, atau sentuhan.

Nah, terapi sensori ini dapat membantunya dengan cara membantu dalam mengatur reaksi anak terhadap rangsangan eksternal.

Misalnya, jika anak hipersensitif terhadap sentuhan, terapis akan bekerja untuk menghilangkan kepekaan anak dari waktu ke waktu.

Terapis mungkin akan melatih reaksi anak yang berlebihan terhadap sentuhan melalui paparan dengan kain berbagai tekstur.

Agar anak lebih nyaman dalam menjalani proses terapi ini, mereka akan menjalaninya dengan cara yang menyenangkan, seperti bermain.

6. Applied Behaviour Analysis (ABA)

Applied Behaviour Analysis (ABA) merupakan jenis terapi yang paling populer karena memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi untuk membantu anak dengan gangguan autisme.

Dalam terapi ini, seorang terapis akan menetapkan tujuan yang sangat spesifik dan terukur. Jadi, proses terapi akan memiliki peluang yang lebih besar untuk berhasil.

Menurut Web MD, pelatihan ABA paling efektif jika terapi dimulai ketika anak-anak lebih muda dari usia 5 tahun.

Meski begitu, anak-anak yang lebih tua dengan gangguan autisme juga dapat memperoleh manfaat dari terapi ABA.

ABA akan membantu anak-anak dengan cara mengajarkan perilaku sosial, motorik, hingga verbal, serta keterampilan penalaran, dan bekerja untuk mengelola perilaku yang menantang.

Anak-anak yang menjalani ABA akan membutuhkan terapi satu lawan satu yang ekstensif selama rata-rata 25 jam setiap minggu agar hasilnya maksimal.

7. Terapi Bermain

Sensory play atau terapi bermain memiliki tujuan untuk membangun interaksi sosial dan keterampilan komunikasi anak autisme.

Tak hanya itu, terapi bermain yang dilakukan dalam jangka panjang dapat meningkatkan kemampuan anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan baru dan permainan simbolis.

Jenis terapi ini dapat dimulai dengan cara bermain kejar-kejaran, meniup gelembung, serta aktivitas sensorik lainnya, seperti:

  • Berayun
  • Meluncur
  • Menggeliat melalui tabung

Ketika kemampuan anak Moms tumbuh semakin baik, terapi bermain dapat dilanjutkan dengan mengembangkan permainan bolak-balik, permainan kolaboratif, atau bahkan khayalan.

8. Terapi Pendidikan

Anak-anak dengan gangguan autisme juga dapat meningkatkan kemampuan mereka melalui terapi pendidikan.

Umumnya, anak-anak autis dapat merespon program pendidikan yang sangat terstruktur dengan sangat baik.

Program pendidikan yang berhasil bagi anak autis biasanya mencakup tim spesialis dan berbagai kegiatan untuk meningkatkan keterampilan sosial, komunikasi, hingga perilaku mereka.

9. Terapi Keluarga

Terapi keluarga merupakan pelatihan yang melibatkan orang tua dan anggota keluarga lainnya.

Sehingga orang-orang terdekat dari anak autisme ini dapat belajar bagaimana caranya bermain dan berinteraksi dengan anak-anak mereka.

Selain itu, terapi keluarga juga dapat mengajarkan orang tua atau anggota keluarga lain untuk:

  • Meningkatkan keterampilan interaksi sosial
  • Mengelola perilaku bermasalah
  • Memperbaiki keterampilan hidup sehari-hari
  • Komunikasi pada anak autisme

Farraas, mengatakan, meskipun anak sudah melakukan terapi, tetapi orang tua harus ikut andil dalam mendidik anak.

Hal ini akan membuat progres terapi anak lebih cepat dibandingkan hanya mengandalkan terapi saja.

Hari Autisme Sedunia
Foto: Hari Autisme Sedunia

Jenis-Jenis Terapi Anak Autisme
Foto: Jenis-Jenis Terapi Anak Autisme

Jenis-Jenis Terapi Anak Autisme
Foto: Jenis-Jenis Terapi Anak Autisme

Baca Juga: Kenali 5 Tanda Bahaya Infeksi Serius Pada Anak

Mendidik Anak dengan Autisme

World_Autism_Day-Testimoni-2
Foto: World_Autism_Day-Testimoni-2

Apabila Si Kecil telah didiagnosis menderita autisme, Moms dan Dads harus memberikan perhatian dan dukungan ekstra.

Cara mendampingi anak dengan autisme tentu berbeda dengan anak lain yang tidak memiliki kondisi serupa.

Sebuah penelitian Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir, autisme masa kanak-kanak telah menarik minat dan perhatian para dokter dan peneliti.

Hal ini karena autisme pada awalnya dipahami sebagai gangguan psikologis.

Namun, ada beberapa kasus bahwa anak autisme mengalami gangguan perkembangan asal, yaitu neurologis yang diekspresikan dalam perilaku.

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui cara mendampingi anak dengan autisme agar dapat menunjang tumbuh kembangnya.

Berikut ini cara mendidik anak autisme:

1. Memilih Pendidikan Sekolah yang Tepat

Moms dan Dads mungkin saja merasa bingung ketika Si Kecil sudah memasuki usia sekolah.

Memilih sekolah terbaik untuk anak autisme berbeda-beda.

Sebab, masing-masing anak punya karakter, kebutuhan, serta kemampuan kecerdasan yang berbeda.

Jadi, jenis sekolah yang tepat pun bisa beragam karakteristiknya.

Untuk menentukannya, perlu dilihat kemampuan anak autisme tersebut.

Apabila kemampuan verbal, perilaku dan kemampuan kognitifnya cukup baik, maka anak sebaiknya dimasukkan dalam sekolah inklusi supaya bisa berinteraksi dengan anak lain dan beradaptasi.

Sebaliknya, jika kemampuan verbal, perilaku dan kognitif nya buruk, sebaiknya jangan dimasukkan sekolah inklusi.

Hal ini karena mereka membutuhkan penanganan yang lebih intensif dan orang-orang yang paham menanganinya.

Baca Juga: Anjuran Psikolog Anak, Ini 12+ Cara Menghadapi Balita Aktif dan Sulit Diatur

2. Melatih Skill dengan Terapi

Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri.

Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai.

Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar seperti keterampilan komunikasi.

Dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa reseptif (menyerap dan memahami bahasa).

Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan keterampilan bantu diri atau self-help, keterampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain.

Dengan kata lain, terapi untuk anak autisme bersifat multiterapi.

3. Cari Tahu Bakat dan Minat Anak

Moms dan Dads yang memiliki anak dengan berkebutuhan khusus seperti autisme harus jeli dalam mengenali potensi dan bakat anak mereka sejak dini.

Hal ini menjadi penting untuk menentukan masa depan dan kehidupan mereka.

untuk melihat ketertarikan itu cukup dengan mengajak anak untuk mencoba berbagai hal mulai dari seni hingga olahraga.

Cukup mudah untuk mengetahui ketertarikan anak autisme, lantaran mereka bakal fokus terhadap hal yang mereka sukai.

Ketika mereka mengerjakan sesuatu dengan fokus, seperti menggambar atau melukis mereka akan membuat hasil yang baik dan lebih jujur terhadap pikirannya

Setelah menemukan bakat yang sesuai, anak berkebutuhan khusus harus tetap diarahkan pada bidang itu hingga menjadi ahli.

Baca Juga: Jangan Dimarahi! Ini 12+ Manfaat Anak Bermain Kotor

4. Bergabung dengan Komunitas Autisme

Tentu tidak mudah bagi orang tua mana pun saat mendengar anaknya didiagnosis terkena gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD).

Membesarkan anak dengan autisme memang membutuhkan pola asuh khusus. Oleh sebab itu, Moms butuh mendapat support system terbaik dari lingkungan.

Selain dari suami dan keluarga, tak ada salahnya juga untuk mencari support system lainnya, seperti bergabung di komunitas anak dengan autisme.

Ratih Hadiwinoto, S.H, LLM, Co-Founder Teman Autis dan Alvinia Christiany, BA, Co-Founder Teman Autis mengatakan, komunitas autisme bertujuan sebagai jembatan untuk orang tua.

Sehingga, orang tua dengan anak autisme mendapatkan informasi yang kredibel, sudah terkurasi, dan terverifikasi.

"Banyak orang tua yang belum tahu bagaimana cara perawatan anak autisme. Jadi kita menyediakan informasi awal kepada orang tua sebelum mereka decide what to do," ucapnya.

Teman Autis, Sumber Informasi Orang Tua

World_Autism_Day-Testimoni-3
Foto: World_Autism_Day-Testimoni-3

Di Indonesia, ada berbagai komunitas khusus orang tua yang memiliki anak autisme.

Salah satunya Teman Autis yang didirikan Ratih Hadiwinoto, S.H, LLM bersama Alvinia Christiany, BA.

Komunitas ini merupakan bentuk transformasi dari suksesnya gathering Light It Up pada tahun 2017 dan 2018.

Kini, Light It Up yang telah berubah menjadi komunitas Teman Autis merupakan organisasi non-profit yang menyediakan wadah terintegrasi untuk menyalurkan berbagai informasi tentang autisme.

Hadirnya Teman Autis menjadi salah satu bentuk dukungan bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan autisme.

Hal ini karena Moms dan Dads merupakan orang terdekat bagi anak. Maka, harus memiliki pengetahuan yang baik dalam mengasuh anak autis.

"Kalau misalnya di sekolah atau klinik, mungkin terapis, psikolog, atau gurunya memang tahu kondisi anak kita."

"Akan tetapi, hanya beberapa jam saja. Jadi, orang tua yang paling mengerti kondisi anaknya seperti apa," kata Alvinia.

Teman Autis memiliki komitmen sebagai sumber informasi bagi para orang tua yang memiliki anak dengan gangguan autisme.

Moms dan Dads pun bisa mendapatkan wawasan seputar anak autisme dan pengasuhannya melalui situs website dan akun media sosial Instagram Teman Autis.

Selain menyediakan informasi dalam bentuk artikel di website, para orang tua juga bisa mengetahui daftar klinik untuk anak autisme.

Bahkan Moms dan Dads dapat melakukan tes deteksi autisme secara online, lho!

Tes deteksi yang dapat dilakukan online ini gratis dan ditujukan untuk anak-anak usia 4-11 tahun.

Hasil dari tes deteksi tersebut dapat menunjukkan apakah anak Moms da Dads memiliki indikasi dengan gangguan autisme atau tidak.

Jika iya, orang tua disarankan untuk menemui profesional seperti dokter anak sebagai tindak lanjutan.

"Jadi, para orang tua yang mungkin belum sempat ke psikolog di masa pandemi ini bisa tes secara virtual dulu di website, nanti jika hasil tesnya terindikasi atau tidak, bisa orang tua dapat menggunakannya untuk bahan diskusi dengan psikolog," ujar Ratih selaku Co-Founder Teman Autis, saat diwawancarai oleh Orami.

Tes tersebut dapat memberitahu orang tua mengenai perilaku apa saja yang perlu diwaspadai sebagai tanda-tanda autisme pada anak.

Di era serba digital saat ini, komunitas Teman Autis turut aktif di media sosial Instagram untuk memberikan edukasi terkait autisme kepada para orang tua.

Tak hanya bergerak sendiri, Teman Autis juga bekerja sama dengan beberapa klinik maupun komunitas autisme lainnya sehingga melibatkan para ahli di bidangnya dalam menyampaikan informasi.

Misalnya, event TaWa yang berlangsung secara Live yang merupakan sesi tanya jawab gratis seputar autisme.

"Karena banyak banget orang tua yang suka curhat atau cerita di DM kami tentang anak autisnya, dan mayoritas memiliki kendala biaya," jelas Ratih.

Komunitas Teman Autis juga menyediakan webinar berbayar setiap bulan dengan topik yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan para orang tua.

Ke depannya, Teman Autis akan terus berusaha untuk memberikan dukungan bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan autisme, seperti:

  • Fitur konsultasi online
  • Daftar lengkap klinik, dokter, psikolog untuk anak dengan autisme

Baca Juga: Pengertian Support System dan Manfaatnya Bagi Kehidupan

Wina Natalia: Jangan Malu Punya Anak Berkebutuhan Khusus

World_Autism_Day-Testimoni-4
Foto: World_Autism_Day-Testimoni-4

Di Hari Autisme Sedunia kali ini, rasanya kurang lengkap jika kita tidak membahas tentang perjuangan para orang tua dengan anak autisme.

Tentu, menjadi orang tua dengan anak yang didiagnosis autisme bukanlah perkara yang mudah.

Hal tersebut juga dirasakan oleh Wina Natalia, selebriti yang juga istri dari penyanyi Tanah Air, Anji.

Putra bungsunya yang bernama Sigra Umar Narada didiagnosis memiliki gangguan autisme ketika usia 3 tahun.

Awalnya, Wina dan Anji tak menyangka bahwa putranya termasuk anak berkebutuhan khusus.

"Awalnya, Sigra belum bicara saat usianya 2 tahun. Namun, kita tidak merasa terlalu khawatir karena memang mayoritas kakaknya baru mulai bicara di usia 2,5 tahun," jelas Wina kepada Orami.

Akan tetapi, Sigra tak kunjung menunjukkan tanda-tanda berbicara ketika usianya telah lebih dari 2 tahun.

Sigra juga tidak memahami instruksi, seperti ketika dipanggil akan sulit untuk menoleh ke sumber suara.

Akhirnya, Wina dan suami memutuskan untuk membawa sang putra ke dokter anak karena keterlambatan perkembangannya tersebut.

Pada saat itu, dokter hanya mengatakan Sigra mengalami speech delay atau keterlambatan bicara. Jadi, Sigra pun menjalani terapi.

Sayangnya, Sigra tak menunjukkan kemajuan perkembangan selama setahun mengikuti terapi.

"Jadi, kita coba lagi bawa ke dokter lain untuk cari second opinion. Ternyata, dia baru didiagnosis ASD (Autism Spectrum Disorder)," tambahnya.

Sigra menjalani berbagai tes sebelum dinyatakan mengalami gangguan autisme. Rangkaian tes tersebut cukup banyak, Moms.

Selama menjalani tes, Sigra diobservasi dokter, psikolog, dan psikiater. Ketiga profesional itu benar-benar mengamati perilaku Sigra.

Ketika mengetahui anaknya mengalami autisme, tentu saja Wina dan Anji merasa kaget dan sedih.

Namun, keduanya memutuskan untuk segera bangkit dan mencari perawatan yang tepat untuk Sigra.

"Kita rutin membawa Sigra terapi ke dokter, psikolog, dan psikiater agar kondisinya membaik," kata Wina.

Para profesional yang menangani Sigra juga memberitahukan orang tua dan keluarga dekat mengenai cara pengasuhan yang tepat untuk anak autisme, seperti:

Selain menjalani tes autisme, Sigra juga sempat menjalani tes alergi. Sehingga, pada awal didiagnosis ASD, Sigra melakukan diet CFGF (Casein Free Gluten Free).

Jadi, putranya dianjurkan untuk tidak mengonsumsi tepung terigu dan susu sapi beserta turunannya.

"Makanan itu berpengaruh banget sama perilakunya dan semenjak diet CFGF, tantrumnya dia berkurang banget," lanjutnya.

Meski saat awal pandemi proses terapi si buah hati sempat mengalami kendala dan tak bisa tatap muka, Sigra tetap menjalani perawatan secara virtual.

Kini, Sigra yang lahir pada tahun 2015 telah memasuki usia sekolah dan ikut belajar di sekolah umum dengan program inklusi.

Seiring perkembangannya yang semakin membaik, Sigra juga sudah menunjukkan minat dan bakatnya. Ia menyukai musik, seperti sang Ayah, Anji.

"Anak dengan autisme itu punya kelebihan cepat menghafal sesuatu. Jadi, Sigra hanya menonton YouTube dan dia bisa main piano dengan beragam lagu," tutur Wina antusias.

Wina dan Anji sebagai orang tua berusaha untuk memberikan dukungan kepada Sigra, dengan membelikan piano dan keyboard.

"Setiap pagi dia sering main-main sendiri sambil belajar dari internet. Kalau mau belajar lagu, dia cari sendiri, belajar mandiri saja," katanya.

Wina pun berpesan kepada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan autisme seperti dirinya, agar mau menerima anugerah tersebut.

"Janganlah berlarut dalam kesedihan dan segera cari solusi untuk mengatasinya," pungkasnya.

Baca Juga: Tampak Serupa, Kenali Beda Anak Speech Delay dan Autis, Moms!

Nah, itu tadi pembahasan lengkap mengenai autisme. Yuk, Moms ajak Dads dan keluarga untuk sama-sama mendukung Si Kecil agar dapat memaksimalkan potensinya!


Ditulis oleh:

  • Defara Millenia Romadhona
  • Amelia Riskita Putri

Disunting oleh:

  • Meira Karla Farhana
  • Widya Citra Andini

Ilustrasi oleh:

  • Achyadi

  • https://www.autismspeaks.org/what-autism
  • https://www.autism.org.uk/advice-and-guidance/what-is-autism/the-causes-of-autism
  • https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1682/hari-peduli-autisme-sedunia-kenali-gejalanya-pahami-keadaannya
  • https://www.autism.org.uk/advice-and-guidance/what-is-autism/the-causes-of-autism
  • https://www.cdc.gov/ncbddd/autism/treatment.html
  • https://publications.aap.org/pediatrics/article/120/5/1162/71080/Management-of-Children-With-Autism-Spectrum
  • https://www.webmd.com/brain/autism/therapies-to-help-with-autism
  • https://www.webmd.com/brain/autism/autism-therapies-aba-rdi-and-sensory-therapies
  • https://www.verywellhealth.com/low-cost-autism-therapies-parents-can-provide-at-home-4172365
  • https://www.helpguide.org/articles/autism-learning-disabilities/autism-treatments-therapies-interventions.htm
  • https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/autism-spectrum-disorder/diagnosis-treatment/drc-20352934
  • https://nationaltoday.com/world-autism-awareness-day/#:~:text=With%20the%20continuous%20investigation%20and,about%20people%20with%20autism%20spectrum
  • https://www.un.org/en/observances/autism-day/background
  • https://www.autism-society.org/about-the-autism-society/history/
  • https://link.springer.com/article/10.1007/s40489-020-00197-9
  • https://www.cdc.gov/ncbddd/autism/screening.html
  • https://www.autismspeaks.org/screening-how-is-autism-diagnosed
  • https://journals.lww.com/jrnldbp/fulltext/2004/12000/educating_children_with_autism.9.aspx
  • https://www.teachforamerica.org/stories/6-tips-for-teaching-students-with-autism
  • https://www.highspeedtraining.co.uk/hub/how-to-support-a-child-with-autism-in-the-classroom/

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb