
Lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara terlahir dalam keluarga kraton Yogyakarta sebagai golongan ningrat.
Selain menjadi aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, ia juga seorang kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Baca Juga: Mohammad Hatta: Biografi, Pendidikan, dan Perjalanan Politiknya
Foto: Ki Hadjar Dewantara (Salam.ui.ac.id)
Baca Juga: 5 Contoh Puisi Cinta Tanah Air untuk Tingkatkan Rasa Nasionalisme
Foto: Biografi Ki Hajar Dewantara (Smpnegeri1seikanan.sch.id)
Berikut ini biografi singkat Ki Hajar Dewantara, mulai dari pendidikannya hingga perjuangannya untuk bangsa Indonesia.
Ki Hajar Dewantara, atau Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman.
Ia merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III.
Ki Hajar Dewantara telah menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School.
Sekolah tersebut merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal dari Eropa.
Setelah itu, ia sempat melanjutkan pendidikan kedokteran di STOVIA. Namun, ia tidak menamatkannya karena kondisi kesehatan yang buruk.
Tanpa melanjutkan sekolah, ia pun bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar.
Ia pernah bekerja untuk surat kabar Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Soewardi tergolong salah seorang penulis yang handal pada masanya. Gaya tulisannya sendiri bersifat komunikatif dengan gagasan-gagasan yang antikolonial.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ki Hajar Dewantara memulai kariernya sebagai seorang wartawan atau penulis di beberapa media.
Salah satu tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal yaitu, "Seandainya Aku Seorang Belanda", yang memiliki judul asli Als ik een Nederlander was.
Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar de Express milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913.
Artikel tersebut ditulis sebagai protes atas rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), guna perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.
Foto: Logo Indische Partij (En.wikipedia.org)
Selain dari menulis, bersama dengan rekannya, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara juga mendirikan Indische Partij.
Indische Partij merupakan partai pertama Indonesia yang menggaungkan kebebasan Hindia dengan semboyan “indie untuk indier”.
Pembentukan partai tersebut bertujuan untuk mempersatukan Hindia Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Partai ini menggabungkan kelompok masyarakat, seperti kelompok Indo (campuran Eropa dan Pribumi), dan Pribumi atau Bumiputera.
Indische Partij aktif bergerak di penjuru Hindia Belanda dengan tujuan menyebarkan gagasan nasionalisme, dan mendapatkan dukungan dari rakyat, dengan tujuan mengakhiri penjajahan yang terjadi di tanah air.
Gerakan serta sindiran Ki Hajar Dewantara dalam tulisannya dan di beberapa tulisan lainnya pada akhirnya menyulut kemarahan dari Belanda.
Hingga pada akhirnya Gubernur Jendral Idenburg memerintahkan pengasingan Ki Hajar Dewantara di Pulau Bangka.
Namun, atas permintaan kedua rekannya yang juga dihukum dan diasingkan, yaitu dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, pengasingan mereka pun dipindahkan ke Belanda.
Pengasiangan tersebut tidak disia-siakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Di Belanda, ia mendalami bidang pendidikan dan pengajaran, hingga pada akhirnya memperoleh sertifikat Europeesche Akte.
Setelah melewati masa pengasingan pada tahun 1918, Soewardi pun mulai mencurahkan perhatiannya yang tinggi dalam bidang pendidikan, dengan tujuan untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: 5 Contoh Puisi Cinta Tanah Air untuk Tingkatkan Rasa Nasionalisme
Foto: Taman Siswa (Tamansiswapusat.com)
Pada 3 Juli 1922, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Perguruan Nasional Taman Siswa.
Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional dengan menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air, serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak hanya melalui pendirian Taman Siswa, perjuangan Ki Hajar Dewantara juga melanjutkan menulis di berbagai surat kabar.
Bedanya, tulisannya kali ini tidak lagi bernuansa politik, melainkan lebih dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
Tulisan-tulisannya tersebut berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang luas dan berwawasan kebangsaan.
Melalui konsep-konsep itulah ia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Dalam perjuangannya tersebut, ia memiliki beberapa semboyan yang terkenal, yaitu:
Semboyan-semboyan tersebut masih tetap digunakan dalam dunia pendidikan kita, hingga saat ini, utamanya di sekolah Taman Siswa.
Memasuki usia ke 40 tahun, Ki Hajar Dewantara pun melepas gelar kebangsawanannya, dan mengganti nama aslinya dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Hal tersebut bertujuan agar ia dapat dengan bebas lebih dekat, baik secara fisik maupun hati dengan rakyat Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi Putera, bersama dengan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur.
Lalu di masa kemerdekaan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pun diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama.
Berkat perjuangannya tersebut, tak heran jika ia dijadikan pahlawan nasional untuk pendidikan di Indonesia, serta hari lahirnya, yaitu pada tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Hal tersebut tentunya untuk menghargai dan menghormati segala pemikiran-pemikiran dan tindakannya yang membawa Indonesia dalam kemerdekaan.
Foto: Makam Ki Hajar Dewantara (Kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Ki Hajar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959. Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar Dewantara.
Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29 April 1959.
Taman Wijaya Brata beralamat di Jl. Soga No.28, Tahunan, Kec. Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Upacara pemakamannya dipimpin oleh Soeharto yang bertindak sebagai inspektur upacara saat itu.