
Ada banyak gejala yang muncul saat terpapar COVID-19, salah satunya adalah penyakit delirium.
Pandemi COVID-19 sudah berlangsung hampir dua tahun, sejak Maret 2020 diumumkan kasus pertama di Indonesia.
Hingga saat ini, Indonesia juga masih harus berjuang melawan varian terbaru COVID-19, Omicron yang mulai banyak kasusnya.
Salah satu gejala yang disebut menandakan COVID-19, yaitu penyakit delirium.
Selama ini orang hanya tahu kalau gejala COVID-19 yang umum meliputi kelelahan, sesak napas, batuk, sakit kepala, nyeri dada dan nyeri otot, masalah pencernaan, serta kehilangan bau dan rasa.
Adapun sebuah studi menyebutkan, penyakit delirium umumnya dialami pasien COVID-19 yang berusia lanjut.
Seperti apa gejala umumnya?
Simak bersama ulasan berikut ini, ya!
Foto: Lansia (Health.usnews.com)
Penyakit delirium sangat erat kaitannya dengan perubahan kondisi mental seseorang.
Melansir Medlineplus, gejala penyakit ini dapat berupa:
Biasanya, kondisi pada penyakit delirium ini ditandai dengan:
Keluhan akibat gangguan kognitif atau kemampuan berpikir yang buruk, seperti:
Gejala penyakit delirium terkait perubahan perilaku umumnya meliputi:
Beberapa gejala gangguan emosional yang mungkin muncul, di antaranya:
Selain itu, beberapa gejala penyakit delirium yang terkait dengan fisik pun kerap dialami penderitanya.
Gejala ini termasuk tremor dan kehilangan kontrol terhadap usus atau kandung kemih (inkontinensia urine).
Baca Juga: Mengenal Gejala, Penyebab, dan Cara Mengatasi Anxiety Attack
Foto: Tangan Lansia (Freepik.com/rawpixel-com)
Melihat dari penyebabnya, berikut ini berbagai faktor yang mungkin menjadi penyebab dari penyakit delirium:
Foto: Delirium Akibat COVID-19 (Orami Photo Stocks)
Penelitian yang dipimpin oleh ilmuwan Rumah Sakit Umum Massachusetts melibatkan 817 pasien COVID-19 berusia 65 tahun ke atas yang tiba di DE.
Hasilnya, sebanyak 226 (28%) mengalami penyakit delirium, yang merupakan tanda dan gejala paling umum keenam.
Penyakit delirium adalah gejala utama pada 37 (16%) pasien dengan delirium.
Sementara, 84 pasien dengan delirium (37%) tidak memiliki gejala COVID-19 yang khas, seperti demam atau sesak napas.
Dalam Center for Infectious Disease Research and Policy, disebutkan bahwa penyakit delirium melibatkan kebingungan, gangguan kesadaran, kurangnya perhatian, dan masalah kognitif lainnya.
Hal ini memengaruhi terutama orang usia tua (lansia), meskipun diperkirakan tetap tidak terdiagnosis pada dua pertiga pasien, kata para peneliti.
Pada pasien yang lebih tua dengan infeksi non-coronavirus, penyakit delirium mungkin menjadi tanda penyakit pertama atau satu-satunya.
Temuan ini menunjukkan, orang dewasa yang lebih tua dengan COVID-19 umumnya datang ke UGD dengan delirium.
Kondisi ini harus dianggap sebagai gejala COVID-19 yang penting.
Baca Juga: Silent Hypoxia, Gejala Baru COVID-19 yang Menyerang Diam-diam
Foto: Penyakit Delirium (Orami Photo Stocks)
Pada penelitian Journal of American Medical Association, disebutkan bahwa 28% dari pasien COVID-19 yang lebih tua di tujuh departemen darurat (DE) AS mengalami delirium berisiko lebih tinggi dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dan berisiko sebabkan kematian.
Mengutip Mayo Clinic, delirium adalah gangguan serius pada kemampuan mental yang mengakibatkan kebingungan berpikir dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan.
Tahapan awal delirium biasanya cepat, yaitu terjadi dalam beberapa jam atau beberapa hari.
Bila tidak memiliki infeksi COVID-19, terjadinya delirium bisa karena satu atau lebih faktor.
Seperti penyakit parah atau kronis, perubahan keseimbangan metabolik (seperti natrium rendah), pengobatan, infeksi, pembedahan, atau keracunan atau penggunaan alkohol atau obat-obatan.
Baca Juga: Bukan Gejala COVID-19, ini 8 Penyakit yang Sebabkan Nyeri Dada!
Foto: Lansia Tertidur (Orami Photo Stocks)
Sekilas, penyakit delirium dan demensia memiliki gejala yang tidak berbeda jauh.
Lalu, apa yang membedakan kedua kondisi ini?
Demensia dan delirium mungkin sangat sulit dibedakan, dan seseorang mungkin mengalami keduanya.
Padahal, penyakit delirium sering terjadi pada penderita demensia.
Tetapi, orang yang mengalami penyakit delirium tidak selalu berarti seseorang menderita demensia.
Jadi penilaian demensia sebaiknya tidak dilakukan selama terjadinya delirium karena hasilnya bisa menyesatkan.
Demensia adalah penurunan daya ingat dan kemampuan berpikir lainnya secara progresif akibat disfungsi bertahap dan hilangnya sel-sel otak.
Penyebab paling umum dari demensia adalah penyakit Alzheimer.
Beberapa perbedaan antara gejala penyakit delirium dan demensia:
Timbulnya penyakit delirium terjadi dalam waktu singkat.
Sedangkan demensia biasanya dimulai dengan gejala yang relatif kecil yang secara bertahap memburuk seiring waktu.
Kemampuan untuk tetap fokus atau mempertahankan perhatian secara signifikan terganggu dengan penyakit delirium.
Seseorang pada tahap awal demensia umumnya tetap waspada.
Munculnya gejala penyakit delirium dapat berfluktuasi secara signifikan dan sering sepanjang hari.
Sementara penderita demensia mengalami waktu yang lebih baik dan lebih buruk dalam sehari, ingatan dan keterampilan berpikir mereka tetap pada tingkat yang cukup konstan selama sehari.
Baca Juga: Penyebab dan Cara Mengatasi Sering Lupa, untuk Moms yang Merasa Pikunan
Foto: konsultasi dokter.png (Orami Photo Stock)
Langkah utama dalam pengobatan kondisi ini adalah menilai semua kemungkinan penyebab, menyediakan dukungan suportif, dan mencegah komplikasi.
Jagalah kondisi penderita penyakit delirium agar tidak terjadi kecelakaan selama perawatan.
Sebab, penderita berada pada fase penurunan kesadaran.
Penanganan masalah yang mendasari sangat diperlukan, misalkan infeksi, penurunan gula darah, gangguan buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK), dan imobilisasi.
Baca Juga: 5 Gejala Virus COVID-19 Varian Omicron yang Sudah Masuk Indonesia, Waspada!
Sekarang sudah tahukan Moms, bahwa penyakit delirium bisa menjadi gejala COVID-19?
Karena itu, tetap waspada dan jangan lupa lakukan protokol kesehatan 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak), ya!